
SID 1984 Melawan Dominasi Narai Palsu
Mereka yang pernah mendengar lagu “1984” dari Superman Is Dead (SID) tidak hanya disuguhi deretan akord yang menggugah, tetapi juga dilempar ke dalam atmosfer distopia yang terasa begitu nyata. Lagu ini menggema seperti sirene di tengah kota yang mati rasa, bukan hanya karena liriknya yang tajam, tapi karena ia berhasil menciptakan ruang imajiner di mana kesadaran politik, kegelisahan eksistensial, dan kritik sosial bertemu dalam satu panggung: musik.
“1984” bukan sekadar karya seni. Ia adalah semacam barikade—panggung kecil tempat seorang punk berdiri dengan gitar dan mikrofon, meneriakkan hal-hal yang jarang disuarakan dalam berita prime time. Lagu ini membawa serta semangat George Orwell, namun dalam balutan khas Bali, khas Denpasar, khas jalanan. Di mana kebebasan bukan hanya tentang hak suara, tetapi tentang bertahan hidup dari gelombang pembodohan sistematis.
Dunia Tanpa Kode Moral
Lagu ini dibuka dengan penggambaran dunia yang telah kehilangan kode moralnya. Barangkali ini semacam ucapan selamat datang yang getir. Dunia yang digambarkan bukan dunia fiksi; ia adalah fragmen dari kenyataan kita: ketika kiri dan kanan kehilangan makna dan berubah menjadi kosmetik belaka. Ketika semua perdebatan lebih seperti simulasi pertarungan demi rating, bukan kebenaran.
“1984 fasis, ia berpesta di panggung peragaan busananya” — metafora ini bukan sekadar sindiran. Ia adalah muntahan muak terhadap elitisme yang membungkus kekuasaan dalam kemasan lifestyle. Yang berkuasa kini bukan hanya pemerintah atau aparat. Kekuasaan kini mengenakan sneakers mahal, memakai filter Instagram, dan berbicara soal self-love sambil menekan upah buruh.
Narasi semacam ini sejalan dengan apa yang dikritik Jean Baudrillard tentang simulacra—bahwa realitas sudah digantikan oleh representasi-realitas yang dibuat sedemikian rupa agar tidak bisa lagi dibedakan. Dalam hal ini, politik bukan lagi ruang pertarungan ide, tapi catwalk tempat oligarki berjalan dengan penuh gaya sambil membisikkan dogma baru kepada rakyat: “Kau tak punya apa-apa, namun kau akan bahagia.”
Lidah yang Dipotong dan Media yang Dipelihara
Salah satu bait paling mencolok dalam lagu ini menyebut: “Kau potong lidah yang berani tandingi narasi se palsu itu.” Ini bukan hiperbola musikal, melainkan simbol yang menggambarkan bagaimana kritik dibungkam dengan berbagai cara: dari intimidasi, sensor algoritma, hingga delegitimasi melalui framing media.
Kritik terhadap media—“media kiri kanan dan selebriti”—dinyatakan secara lugas, tanpa basa-basi. Dalam era di mana selebriti lebih dipercaya ketimbang jurnalis investigatif, dan ketika batas antara berita dan endorse semakin kabur, lagu ini mengingatkan bahwa kebohongan tak selalu datang dalam bentuk larangan. Ia sering datang sebagai ajakan, hadiah, hiburan.
Michel Foucault dalam kuliahnya di Collège de France menjelaskan bahwa kekuasaan modern tidak bekerja lewat larangan langsung, tapi lewat pengaturan wacana—apa yang boleh dibicarakan, bagaimana ia dibicarakan, dan siapa yang berhak bicara. SID seakan mengamini itu, bahwa yang berbahaya bukan hanya mereka yang memegang senjata, tapi mereka yang memegang narasi.
Literasi: Pisau Tumpul yang Harus Diasah
“Pertajam literasi bukan logika mungkin itu membantu” — ini bukan saran dari akademisi, ini jeritan dari barisan paling bawah. Literasi di sini bukan soal membaca cepat atau memahami opini. Ini soal kemampuan untuk melihat dunia secara kritis. Literasi sebagai alat pembebasan, bukan konsumsi.
Dalam konteks Indonesia kontemporer, literasi acapkali dipromosikan lewat program-program formal: minat baca, perpustakaan digital, kurikulum. Tapi apa artinya semua itu jika buku-buku bagus dilarang, dan buku-buku buruk disubsidi? Apa artinya membaca jika kebebasan berpikir tetap dipasung oleh narasi tunggal?
Nietzsche menulis dalam Genealogy of Morals bahwa orang-orang yang kehilangan kekuatan untuk berpikir kritis akan terjerembab dalam kebencian dan pembalasan dendam, yang disebutnya sebagai ressentiment. Lagu “1984” bisa dibaca sebagai ajakan untuk tidak jatuh ke jurang itu—untuk berpikir, bukan sekadar bereaksi.
Melawan dengan Akal Budi
Frasa “dilahirkan diberkati dengan akal budi” adalah pengingat eksistensial bahwa manusia, betapapun terdesaknya, memiliki alat paling mendasar untuk melawan: pikirannya. Ini adalah semacam kairos atau momen tepat untuk mengambil alih kembali hak kita atas makna. Karena apa gunanya hidup dalam demokrasi jika pikiran kita dijajah oleh ilusi dan citra?
Heidegger pernah menulis bahwa “bahasa adalah rumah bagi keberadaan”. Maka ketika lidah dipotong, ketika kata tak lagi bebas, maka keberadaan manusia juga sedang dilucuti. Lagu ini menyerukan agar rumah itu dibangun kembali—dengan membaca, berbicara, dan menyuarakan yang tak nyaman.
Politik Identitas dan Keinginan untuk Bertemu
Menjelang akhir, lagu ini menyuarakan harapan untuk bertemu “di sebuah titik tanpa politik identitas.” Ini adalah kalimat yang menampar banyak arah sekaligus. Dalam dunia yang semakin terpolarisasi oleh ras, agama, gender, dan berbagai identitas yang dibenturkan demi kekuasaan, harapan ini terasa utopis—tapi justru karena itu ia penting.
Politik identitas seringkali menjadi alat yang digunakan oleh oligarki untuk menciptakan konflik horisontal—agar rakyat saling serang dan lupa menuntut keadilan. Lagu ini mengajak kita membongkar jebakan itu, mengajak kita bertemu bukan sebagai kategori, tapi sebagai manusia.
Mungkin ini sejalan dengan pemikiran Emmanuel Levinas tentang wajah orang lain yang memanggil kita untuk bertanggung jawab. Bertemu tanpa politik identitas artinya menjumpai yang lain sebagai subjek, bukan sekadar simbol atau statistik.
Kekuasaan Baru: Algoritma dan Selebriti
Oligarki yang dikritik dalam lagu ini tidak selalu hadir dalam bentuk menteri atau pengusaha. Kadang ia datang sebagai influencer. Kadang sebagai buzzer. Kadang sebagai suara manis yang menyarankan kita “tidak usah ribut soal politik, fokus aja pada healing.”
Ini bentuk kekuasaan baru—kekuasaan yang merasuk, bukan memaksa. Yang memeluk sambil menindas. Yang membuat kita merasa bebas padahal sedang digiring.
SID tidak hanya menunjuk siapa yang salah, tapi juga memperlihatkan bahwa kekuasaan itu cair dan menyusup ke mana-mana. Maka satu-satunya cara untuk melawan adalah dengan menyalakan kembali keberanian berpikir. Menyalakan kembali obrolan. Menyalakan kembali keraguan.
Akhir Kata: Lagu Sebagai Peluru Imajinasi
“1984” adalah lagu yang tidak selesai saat musik berhenti. Ia tetap berdentum dalam kepala. Ia menggema dalam percakapan. Ia hidup dalam komentar Youtube, dalam status WhatsApp, dalam diskusi warung kopi.
Lagu ini tidak menawarkan solusi, tapi ia menyalakan keresahan. Dan keresahan, jika dijaga, bisa tumbuh menjadi gerakan. Bisa tumbuh menjadi suara. Bisa tumbuh menjadi “lidah yang tak bisa lagi dipotong.”
Dalam semangat itulah lagu ini patut dikenang. Bukan sebagai lagu punk semata, tapi sebagai dokumen sejarah kecil tentang perlawanan sehari-hari. Ia adalah perlawanan minor, dalam bahasa Deleuze dan Guattari—perlawanan yang tidak besar, tapi terus-menerus. Perlawanan yang mungkin tidak akan viral, tapi membekas.
Di dunia yang gemar melupakan, lagu ini mengingatkan kita untuk tidak diam. Dan seperti kata Camus yang dikutip dalam penutup: keberanian untuk memberontak adalah awal dari semua kebebasan. Maka teruslah memberontak, bahkan jika yang kau hadapi bukan diktator, tapi notifikasi ponselmu sendiri.
Tinggalkan Balasan