Mengendus Eksistensi

Mereka—Sadra, Sartre, Lanza—adalah pengendus yang tekun. Bukan perumus kebenaran, bukan penguasa makna. Mereka hanyalah manusia-manusia yang terlalu peka pada sesuatu yang tidak tampak, terlalu resah pada dunia yang terlalu teratur. Mereka menyentuh eksistensi seperti meraba wajah kekasih dalam mimpi: samar, tapi menggema.

Sadra menyebutnya wujūd, keberadaan yang benderang, bergerak, tak pernah diam. Bagi Sadra, hidup bukan sekadar urusan denyut jantung dan metabolisme. Hidup adalah perjalanan jiwa menuju eksistensi yang lebih jernih, lebih utuh. Seperti air yang selalu turun dari hulu, eksistensi dalam pandangannya selalu bermuara pada Yang Maha Ada. Tapi bahkan Sadra pun tidak menggenggam—ia hanya membisikkan: lihatlah, sesuatu sedang bergerak di balik segala yang tampak diam.

Sartre menolak semua itu. Ia berdiri dalam keheningan pascaperang, menyaksikan dunia tanpa makna bawaan, lalu berkata: eksistensi mendahului esensi. Kita dilempar ke dunia tanpa petunjuk, dan itu menyakitkan sekaligus membebaskan. Kita tak bisa memilih dilahirkan, tapi kita bisa memilih menjadi siapa. Dan setiap pilihan itu adalah siksaan kecil yang terus menandai bahwa kita hidup.

Lalu datang biosemtrisme. Sebuah tafsir modern yang berbisik: barangkali dunia tidak pernah ada di luar sana. Barangkali realitas hanyalah akibat dari kesadaran yang mengamatinya. Waktu, ruang, benda—semuanya bisa berubah hanya karena ada yang melihat. Maka hidup bukan sekadar hadir, tapi menghadirkan. Kesadaran bukan bagian dari dunia, tapi dunia adalah bayangan dari kesadaran.

Di antara tiga jalan itu, kita berdiri. Tidak memilih, karena tidak bisa. Kita tahu bahwa hidup tidak bisa diringkas oleh satu teori, tak bisa disimpulkan dalam satu kalimat. Ia terlalu halus, terlalu licin. Kita hanya bisa mengendusnya—seperti aroma yang datang dari ruangan yang tak pernah bisa kita masuki. Kita mengendus eksistensi dalam bentuk kehilangan yang tak kita mengerti, dalam tatapan orang asing yang membuat dada sesak tanpa sebab, dalam malam-malam yang tidak bisa kita tiduri.

Kita hidup seperti itu: mengendus makna yang tak bisa dilihat, mencintai sesuatu yang tak bisa dimiliki, memeluk dunia yang terus berubah bentuk.

Dan mungkin, seperti kata Ludwig Fulda: “Man ist ein Mensch, und das allein genügt, um zu leiden.”
(Seseorang adalah manusia—dan itu saja sudah cukup untuk menderita.)

Tapi justru karena kita menderita, kita tahu bahwa kita ada.
Dan karena kita resah, kita tahu bahwa hidup belum selesai.

Leave a Comment

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *