
Manusia, Subjektivitas, dan Kekekalan yang Luka
Kita tidak akan memulai dengan “di dunia yang”, atau “kita hidup dalam”. Seperti pesulap yang sudah bosan dengan trik kelinci dari topi, mari langsung keluarkan jantung pertanyaan ke meja autopsi: Apakah manusia hanyalah tubuh, atau sebenarnya ia adalah subjektivitas murni—sebuah kegelisahan yang membandel, menolak padam bahkan ketika massa dan energi tubuhnya sudah bubar jalan?
Barangkali Lavoisier tersenyum tipis dari balik kaca laboratorium abad ke-18, ketika menyatakan bahwa “massa tidak diciptakan dan tidak dimusnahkan”—seolah-olah semesta ini adalah toko kelontong dengan pembukuan yang rapi. Tapi Einstein, yang lahir lebih dari seabad kemudian, datang membawa notulen yang mengacaukan rapat: ternyata massa dan energi itu cair, dapat saling bertukar rupa. Dan dari pertukaran itu, muncul ledakan bintang, kilau bom atom, dan pertanyaan-pertanyaan tua yang tiba-tiba punya mantel ilmiah baru.
Maka, mari kita bermain dalam laboratorium absurd ini. Bayangkan seorang manusia—siapa saja, katakanlah namanya: Seno. Ia bangun pagi, makan nasi, bekerja, bercinta, menulis puisi, lalu suatu saat tubuhnya meredup dan diam. Apa yang sebenarnya hilang dari Seno, dan apa yang hadir ketika ia telah menjadi narasi, abu, atau sekadar kenangan di nisan yang retak?
I. Kekekalan yang Tak Pernah Tetap
Bagi fisika, terutama sejak Einstein, semesta adalah pesta yang hemat: tak ada satu butir debu pun yang benar-benar hilang; ia hanya menari dari bentuk ke bentuk. Tubuh Seno, yang ketika hidup adalah kombinasi atom karbon, nitrogen, kalsium, air, dan entah berapa gigajoule energi kimia, setelah kematian hanya berpindah ke bentuk lain: tanah, udara, panas, dan mungkin—kalau nasib baik—tumbuhan yang tumbuh di dekat makamnya.
Para ilmuwan akan mengangguk puas, menunjuk persamaan terkenal itu:
E=mc2E = mc^2E=mc2
Ini bukan hanya rumus di kaos anak ITB, melainkan pernyataan fundamental: massa bisa berubah jadi energi, energi bisa berubah jadi massa. Tidak ada yang lahir dari ketiadaan, tidak ada yang lenyap ke kehampaan. Alam adalah akuntan yang jujur—hanya bentuk, bukan jumlah, yang berubah.
Maka jika ditanya: “Apa yang hilang saat mati?” Jawaban fisikanya: tidak ada. Seno hanya berpindah dari daftar “manusia” ke daftar “bahan baku dunia”.
II. Hilangnya Subjektivitas, Hadirnya Objek
Tapi manusia bukan sekadar timbangan laboratorium. Ada yang membara di antara urat nadi dan gelombang otak: subjektivitas. Fenomenologi Husserl berkata, “Zurück zur Sachen selbst!”—kembali ke hal itu sendiri—dan yang ia maksud adalah: kembalilah ke pengalaman sadar. Dunia adalah dunia karena ada yang mengalaminya.
Seno hidup bukan sekadar karena jantung berdetak, tapi karena ia bisa bertanya tentang detak itu sendiri. Ia sadar bahwa ia sadar. Di sinilah perbedaan manusia dan batu: batu hanya ada, manusia mengada dan menyadari keadaannya.
Heidegger menyebut manusia sebagai Dasein: ada-di-dunia, makhluk yang terlempar ke tengah realitas dan sadar bahwa ia berada di sana. Dasein bukan sekadar hidup, tapi juga menghayati waktu, menanggung kemungkinan, dan gemetar menghadapi maut.
Maka ketika Seno mati, yang hilang bukan hanya panas tubuh atau gelombang listrik otak. Yang benar-benar lenyap adalah kemampuan untuk menanyakan, “Apa arti semua ini?” Subjektivitas itu padam, dan tubuhnya—yang dahulu penuh narasi dan ingatan—kembali menjadi objek, tunduk sepenuhnya pada hukum alam. Yang hadir hanyalah sisa-sisa: objek, bukan lagi subjek.
III. Satire Kekekalan: Mati sebagai Redistribusi, Bukan Kehilangan
Ada ironi yang halus di sini. Para penyair sejak dahulu selalu menulis bahwa kematian adalah “perjalanan panjang”, “kembali ke asal”, “lebur dalam semesta”, dan lain sebagainya. Fisika modern, dengan segala kecanggihan alatnya, ternyata hanya mempertebal puisi itu: mati memang bukan kehancuran, tetapi transformasi.
Tubuh Seno, jika diperiksa secara mikroskopis setelah kematian, akan melepaskan energi panas terakhir ke udara, protein dan mineralnya jadi santapan mikroba, karbonnya menyatu dengan tanah, bahkan kalsium dari tulangnya bisa bertahan ribuan tahun. Tidak ada yang hilang. Yang berubah hanyalah konstelasi partikel—dan, tentu saja, hilangnya satu pusat kesadaran yang dulu menamai semuanya.
Ini seperti uang koin yang ditukar ke uang kertas. Bentuknya beda, nilainya sama. Tapi, jika uang itu pernah diciumi kekasih atau dikaitkan dengan mimpi masa kecil, maka ketika uang itu hilang dari dompet, yang benar-benar hilang adalah makna personal—bukan sekadar nilai nominal.
IV. Subjektivitas: Manusia atau Mesin yang Patah Hati?
Lalu, apakah manusia itu semata subjektivitas?
Sartre menulis, “Eksistensi mendahului esensi.” Manusia tidak pernah selesai pada cetak biru biologis; ia membentuk dirinya melalui pilihan, kegagalan, penyesalan, dan kebebasan. Tubuh bisa dikloning, kesadaran tidak. Subjektivitas adalah “api” yang tidak bisa diprediksi hanya dari massa dan energi.
Levinas menambahkan: subjektivitas manusia itu “terjerat dalam tanggung jawab etis pada yang Lain”—pada sesama, pada penderitaan, pada tatapan ibu yang lelah di pagi hari, pada tangis anak-anak di TV yang volumenya sengaja dikecilkan.
Gadamer berkata, subjektivitas manusia “tertambat pada bahasa dan sejarah”.
Merleau-Ponty bahkan lebih jauh: “Kesadaran manusia tidak mungkin tanpa tubuh”—artinya, subjektivitas itu menempel pada luka, gigil, dan kulit.
Jika suatu hari, mesin mampu meniru seluruh tanda-tanda kesadaran,
apakah ia menjadi manusia?
Atau, manusia akan jadi mesin yang lebih sempurna dalam merindukan kesedihan?
Barangkali, yang tak tergantikan dari manusia adalah kemampuan merasakan kehilangan, dan merayakan kerinduan yang mustahil tuntas.
V. Hidup = Bertanya, Mati = Sunyi
Hidup, dalam narasi Heidegger, adalah “membuka kemungkinan”, hidup adalah “berada di ambang”—selalu sadar, selalu tak selesai. Manusia adalah makhluk yang bertanya,
dan hidup sejauh ia sanggup bertanya, walau jawaban tidak kunjung tiba.
Ketika mati, bukan berarti seluruh jawaban telah didapat,
tapi pertanyaan itu sendiri sudah tak bisa lagi diucapkan.
Apa yang hadir setelah kematian? Hanya sisa jejak: tubuh yang jadi pupuk, kenangan di ingatan orang lain, fragmen kata-kata yang tercecer di ruang keluarga. Yang hadir adalah narasi tanpa narator. Dunia melanjutkan ritme, tanpa satu titik “aku” yang dahulu menjadi pusat makna bagi segalanya.
VI. Kesimpulan: Manusia Sebagai Subjektivitas yang Tak Selesai
Jika ditarik garis lurus dari hukum kekekalan massa-energi, manusia tidak pernah benar-benar hilang. Yang hilang hanyalah bentuk subjektivitas yang unik, kesadaran yang bertanya dan bergetar. Mati, dengan demikian, bukanlah kehilangan total, melainkan perubahan status keberadaan—dari “aku adalah” menjadi “aku pernah”.
Nietzsche pernah berkata,
“Was mich nicht umbringt, macht mich stärker.”
(Apa yang tidak membunuhku, membuatku lebih kuat.)
Barangkali ia salah tafsir:
Karena kematian bukan melemahkan, bukan juga menguatkan—
melainkan mengubah “aku” menjadi bagian dari dunia yang sunyi.
Maka, jika hidupmu terasa berat dan kematian menakutkan,
ingatlah: menurut fisika, kau hanya sedang menyiapkan diri menjadi bentuk baru.
Menurut filsafat, kau adalah subjektivitas yang, bahkan di batas terakhir,
masih ingin bertanya—tentang arti hidup, arti mati, dan arti bertanya itu sendiri.
Dan jika dunia kehilangan seluruh manusia,
barangkali satu-satunya yang benar-benar hilang adalah keberanian untuk menggigil.
Karena hanya manusia yang tahu,
bahwa menggigil bukan kelemahan,
melainkan tanda bahwa ia ada—dan bertanya.
Akhirnya:
Massa dan energi boleh kekal,
tapi subjektivitas adalah perayaan sementara,
dan karena itu,
lebih berharga dari seluruh hukum kekekalan yang pernah dibuat oleh akuntan semesta.
Tinggalkan Balasan