
Kapitayan, Sunya, Ada, Tiada
Di dunia logika tradisional, segalanya harus tertib. Ada adalah ada. Tiada adalah tiada. Tidak mungkin sesuatu yang tidak ada melahirkan sesuatu yang ada. Ini adalah ajaran yang kokoh, diajarkan dari Aristoteles, diformalisasi dalam prinsip identitas, dan diwariskan turun-temurun sebagai fondasi berpikir dunia Barat.
Dalam kerangka ini, realitas harus jelas seperti peta: garis batas antara sesuatu dan bukan sesuatu digambar dengan pena tajam. Bila tidak ada, maka ia tidak bisa menjadi sebab. Bila ada, maka ia eksis, dan hanya sesuatu yang eksis yang bisa menghasilkan sesuatu lainnya. Dunia, menurut logika ini, adalah mesin besar sebab-akibat yang berputar dalam hukum ketat.
Namun, di tanah yang jauh dari Athena, di antara sawah yang lembab, kabut tipis pegunungan, dan desa-desa yang tak tercatat dalam sejarah besar, lahir sebuah cara berpikir lain. Ia tidak membantah logika dengan hujah, tidak menulis buku untuk menyerang Aristoteles. Ia hanya… diam. Ia bertapa dalam keheningan. Ia dikenal dengan nama samar: Kapitayan.
Kapitayan lahir dari pengalaman manusia yang hidup bersama alam, bukan di atas alam. Tidak ada katedral besar, tidak ada bangunan filsafat megah, tidak ada risalah panjang. Yang ada hanyalah rasa: bahwa di balik semua yang tampak ini, ada sesuatu yang tak bisa dipegang, tak bisa dibayangkan, tak bisa disimpulkan.
Mereka menamai kekuatan itu Sang Hyang Taya.
Antara Logika dan Taya: Dua Jalan Melihat Dunia
Logika tradisional bertanya:
-
Apakah sesuatu itu ada?
-
Jika ada, apa sifatnya?
-
Jika tidak ada, mengapa membicarakannya?
Kapitayan tidak menanyakan itu. Bagi mereka, pertanyaan semacam itu sudah keliru sejak awal. Sebab Sang Hyang Taya bukan sesuatu yang bisa didefinisikan sebagai ada atau tiada. Ia bukan benda. Ia bukan kekosongan. Ia bukan bahkan ide. Ia adalah pra-ada, pra-tiada.
Ini bukan konsep yang mudah dicerna bagi pikiran yang dibesarkan dalam logika Aristotelian. Bagaimana membayangkan sesuatu yang bukan sesuatu dan bukan bukan-sesuatu?
Di sinilah Kapitayan bersekutu secara diam-diam dengan jalur pemikiran yang kelak ditemukan di berbagai tradisi mistik dunia:
-
Dengan Laozi dalam Dao De Jing, yang mengatakan, “Dao yang dapat dinamai bukanlah Dao sejati.”
-
Dengan Plotinus, yang berbicara tentang “The One” sebagai sumber segala sesuatu yang melampaui pikiran.
-
Dengan Meister Eckhart, yang membedakan antara Tuhan yang dikenal dan ketuhanan yang tidak mungkin dikenal.
-
Dengan Nagarjuna, yang menghancurkan semua konsep dengan ajaran Sunyata.
Mereka semua, seperti Kapitayan, mengatakan bahwa realitas tertinggi tidak tunduk pada oposisi ada-tiada. Ia melampaui keduanya.
Mengapa Kapitayan Memilih Diam?
Jika Sang Hyang Taya tidak bisa dipikirkan, tidak bisa disembah dalam bentuk, dan tidak bisa dijelaskan, mengapa Kapitayan tidak berusaha setidaknya mendekatinya lewat simbol?
Karena Kapitayan memahami bahaya besar: begitu sesuatu diberi bentuk, ia akan kehilangan kebenarannya.
Menamai berarti membatasi. Membatasi berarti menurunkan. Menurunkan berarti menghianati.
Dalam dunia yang penuh sesembahan berhala — entah berupa patung, kitab, atau bahkan konsep — Kapitayan memilih keheningan. Mereka lebih percaya pada semedi, tirakat, laku, ketimbang ritual besar-besaran yang memamerkan “kesalehan”.
Kebenaran, dalam dunia Kapitayan, tidak ditemukan di podium atau di altar megah, tapi di sendang sepi, di gua gelap, di dasar hati yang tak berisik.
Dunia Modern: Di Mana Ada-Tiada Semakin Kabur
Menariknya, dalam dunia modern yang gemuruh ini, di mana segala sesuatu harus dibuktikan, didokumentasikan, diverifikasi — kita justru kembali berhadapan dengan masalah dasar itu:
Apa itu Ada? Apa itu Tiada?
Fisikawan kuantum sekarang berbicara tentang “fluktuasi vakum”, tentang partikel yang “muncul dari ketiadaan” dalam kondisi energi rendah. Ahli kosmologi membicarakan tentang alam semesta lahir dari “kekosongan”, namun kekosongan itu sendiri penuh energi kuantum.
Logika klasik mulai goyah di tepi realitas ekstrem. Apa itu “kosong” dalam fisika modern bukan lagi “ketiadaan” ala Aristoteles. Kekosongan ternyata bisa kaya, subur, melahirkan.
Dalam kondisi ini, bukankah kita secara tak sadar mendekat kepada pemahaman Kapitayan?
Bahwa ada sesuatu yang melampaui dikotomi ada-tiada, sesuatu yang tidak sepenuhnya dapat dimasukkan dalam kerangka bahasa dan logika.
Belajar dari Kapitayan: Menghormati Misteri
Kapitayan tidak mengajarkan kita untuk membuang logika. Mereka bukan anti-akal.
Mereka hanya mengingatkan: akal manusia ada batasnya.
Bahwa tidak semua yang penting harus dipahami. Tidak semua yang sejati harus diformulasikan.
Bahwa kadang, kebenaran sejati justru ditemukan saat kita berhenti memaksa tahu.
Dalam dunia yang menuntut semua jawaban instan, semua kejelasan, semua kepastian, Kapitayan mengajarkan kerendahan hati epistemologis:
-
Berani membiarkan sesuatu tetap misteri.
-
Berani tidak tahu.
-
Berani tunduk di hadapan sesuatu yang lebih besar daripada bahasa.
Penutup: Pemberontakan Sunyi
Mungkin inilah sebabnya mengapa Kapitayan nyaris hilang dari buku sejarah resmi. Ia terlalu sunyi untuk zaman yang gemar teriak.
Ia terlalu tak bernama untuk dunia yang mencintai gelar.
Ia terlalu sederhana untuk dunia yang mabuk kompleksitas.
Tapi barangkali justru di zaman ini, ketika suara memekakkan dan kata-kata kehilangan makna, kita paling membutuhkan Kapitayan.
Bukan untuk meninggalkan logika.
Tapi untuk belajar bahwa di balik semua logika, ada ruang kosong yang kudus.
Di mana Ada dan Tiada berhenti bertengkar.
Di mana hanya keheningan yang berbicara.
Dan dalam keheningan itulah, kita mungkin menemukan sesuatu yang lebih sejati daripada semua yang bisa kita bicarakan.
Tinggalkan Balasan