Kapitayan Agama Tanpa Kitab Suci

Hanya Sunyi Yang tetap Berarti, Sunyi Berarti Jangan Percayai Kitab Suci

Di tengah dunia yang semakin terobsesi dengan teks suci, dalil, dan referensi tertulis, ada satu ajaran tua dari tanah Jawa yang justru menempuh jalan sebaliknya: Kapitayan. Sebuah sistem kepercayaan spiritual yang konon sudah hidup jauh sebelum Hindu, Buddha, bahkan Islam menyapa Nusantara. Yang membuatnya menarik bukan hanya karena usianya yang purba, tapi karena ia tidak punya kitab suci. Tidak ada manuskrip, tidak ada ayat, bahkan tidak ada nama Tuhan dalam bentuk yang bisa diucapkan dengan pasti.

Lalu, kenapa ajaran sedalam itu tak pernah ditulis? Apakah karena mereka buta huruf? Atau karena ajarannya terlalu sederhana untuk dibukukan? Justru sebaliknya. Inilah bentuk spiritualitas yang memilih untuk tidak dikurung dalam teks. Sebab, menulis—bagi Kapitayan—bisa menjadi bentuk pengkhianatan terhadap kesunyian yang suci.


1. Tradisi Lisan: Pengetahuan Sebagai Nafas, Bukan Buku

Masyarakat pengikut Kapitayan tidak mewariskan ajaran lewat kitab, melainkan lewat tembang, doa bisu, gerak tubuh, dan tapa. Ajarannya dijalani, bukan diajarkan seperti pelajaran sekolah. Seorang cucu belajar dari kakeknya saat menabur bunga di petilasan leluhur, bukan dari membaca ayat-ayat.

Bagi mereka, pengetahuan bukan untuk dikuasai, tapi untuk dihormati. Seperti udara: ia tidak dimiliki, tapi dihirup bersama.


2. Tuhan Tanpa Nama: Sang Hyang Taya

Tuhan dalam Kapitayan disebut Sang Hyang Taya, yang berarti “ketiadaan”. Tapi bukan ketiadaan kosong, melainkan kekosongan yang maha ada. Ia tidak punya rupa, tidak bisa disembah dengan patung, tidak bisa dipikirkan atau dijelaskan. Maka, bagaimana mungkin sesuatu yang tak bisa dijelaskan itu ditulis dalam buku?

Dalam pemahaman ini, menulis Tuhan adalah kesombongan. Sebab tulisan mengklaim tahu, padahal Sang Hyang Taya justru tidak bisa disentuh oleh tahu atau tidak tahu.


3. Kitab Bisa Menjadi Alat Kekuasaan

Berbeda dengan agama-agama besar yang menjadikan kitab suci sebagai sumber hukum dan otoritas, Kapitayan menolak sentralisasi makna. Tidak ada pendeta tunggal, tidak ada pusat otoritas, tidak ada lembaga yang mengklaim mewakili Sang Hyang Taya.

Dalam dunia Kapitayan, semua orang berhak menyepi, semua orang berhak menyapa semesta. Justru karena tak ada kitab, tak ada siapa pun yang bisa mengklaim bahwa ia paling tahu isi langit.


4. Teks Tidak Menjamin Keselamatan

Sejarah menunjukkan bahwa teks bisa jadi senjata. Ia bisa dibakar, dipalsukan, atau dipakai untuk mengadili. Kapitayan sepertinya paham betul bahwa semakin kita menulis sesuatu yang sakral, semakin besar kemungkinan ia dimanipulasi.

Dengan tidak menuliskannya, ajaran Kapitayan justru lebih aman: ia bersembunyi di tubuh-tubuh orang biasa, dalam ritual kecil di desa-desa, dalam keheningan pohon tua, dalam nyanyian ibu-ibu saat menumbuk padi.


5. Daya Lentur: Ajaran yang Tidak Pernah Kaku

Karena tidak dituliskan, Kapitayan menjadi ajarin yang lentur, tidak kaku, dan bisa menyesuaikan diri dengan zaman. Ketika Hindu dan Buddha datang, ia tidak menolak. Ketika Islam datang, ia tidak merasa terancam. Ia menyerap, menyusup, bahkan diam-diam mengubah para pendatang itu dari dalam.

Itulah sebabnya, banyak orang yang tidak tahu bahwa dalam doa-doa kejawen, dalam tapa wong pinter, dalam budaya ziarah dan tirakat, roh Kapitayan masih hidup.


Kesunyian yang Tidak Butuh Pembenaran

Jadi, bukan karena mereka bodoh atau ketinggalan zaman Kapitayan tidak punya kitab. Justru karena mereka terlalu dalam menyelami makna kesunyian dan keterbatasan bahasa, sehingga memilih untuk tidak menuliskannya.

Mereka sadar, bahwa yang paling sejati kadang justru tak bisa dijelaskan.
Dan dalam dunia yang terus berisik ini, barangkali kita butuh kembali belajar dari yang sunyi.


Kesesuaian Pemikiran Para Filsuf Dunia dengan Ajaran Kapitayan

1. Plotinus (205–270 M) – The One
Plotinus, filsuf Yunani-Romawi dari aliran Neoplatonisme, berbicara tentang “The One” — suatu sumber segala sesuatu yang melampaui semua kategori: tidak bisa dipikirkan, tidak bisa diberi bentuk, tidak bisa didefinisikan.

“The One” itu meluap menjadi eksistensi, tetapi dirinya sendiri bukan bagian dari eksistensi.

Mirip:
Sama persis dengan Sang Hyang Taya dalam Kapitayan:

Tidak dapat dipikirkan, tidak dapat digambarkan, dan melahirkan semua yang ada.

2. Meister Eckhart (1260–1328) – Gottheit
Meister Eckhart, mistikus Kristen Jerman, membedakan antara “Gott” (Tuhan personal) dan “Gottheit” (ketuhanan murni tanpa sifat).
Ia berkata:

“Tuhan yang bisa kamu pikirkan bukanlah Tuhan yang sejati.”

Mirip:
Kapitayan juga menganggap segala upaya menggambarkan Tuhan sebagai penyempitan terhadap sesuatu yang hakikatnya tak terbatas.

3. **Laozi (~ abad 6 SM) – Dao (Tao)
Dalam Dao De Jing, Laozi mengajarkan:

“Dao yang bisa dijelaskan dengan kata-kata bukanlah Dao yang abadi.”

Mirip:

“Taya” sebagai prinsip ketuhanan dalam Kapitayan tidak bisa dijelaskan.

Segala penamaan terhadap Sang Hyang Taya menurunkan derajat keasliannya.

4. Martin Heidegger (1889–1976) – Sein (Ada)
Heidegger berbicara tentang “Ada” (Sein) yang tidak bisa dipahami hanya sebagai sesuatu.
“Ada” bukan benda, bukan objek, bahkan bukan sesuatu yang bisa dipikirkan seperti memikirkan pohon atau batu.
Heidegger malah berkata, “Kita telah lupa kepada Ada itu sendiri.”

Mirip:
Kapitayan mengajarkan bahwa manusia harus menyadari keberadaannya berasal dari sesuatu yang tak terlihat, tak terdefinisi — Sang Hyang Taya.

5. Nagarjuna (~ abad 2 M) – Sunyata (Kekosongan)
Dalam filsafat Madhyamaka Buddhisme, Nagarjuna menyatakan bahwa:

“Semua hal bersifat kosong (śūnyatā), bebas dari esensi tetap.”

Mirip:
Kapitayan tidak menganggap dunia ini sebagai sesuatu yang absolut.
Segalanya bergerak dari ketiadaan menuju keberadaan lalu kembali ke ketiadaan.

6. Søren Kierkegaard (1813–1855) – Leap of Faith
Kierkegaard, filsuf eksistensialis Kristen, menulis tentang bagaimana iman sejati bukan soal tahu, tetapi melompat ke dalam ketidakpastian.
Ia berkata:

“Iman dimulai ketika pikiran berakhir.”

Mirip:
Dalam Kapitayan, kepercayaan pada Sang Hyang Taya adalah keberanian untuk percaya kepada yang tak bisa dipahami.

Kesimpulan Filosofis

Kapitayan menempati tempat istimewa dalam sejarah spiritualitas dunia:

Ia berbagi apofatisme (teologi negatif) dengan Plotinus dan Eckhart.

Ia berbagi kesadaran akan ketakterkataan dengan Laozi.

Ia berbagi kesadaran akan kosongnya esensi dengan Nagarjuna.

Ia berbagi keberanian menghadapi misteri eksistensi dengan Heidegger dan Kierkegaard.

Dengan kata lain:

Meskipun tidak pernah menulis kitab, Kapitayan sudah lebih dulu berbicara dalam bahasa filsafat tertinggi: keheningan, keterbatasan, dan keberanian menerima yang tak terkatakan.

Leave a Comment

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *