Israel Antara Rudal dan Reputasi: 12 Hari yang Menghancurkan Startup Nation

Tanggal 13 Juni 2025 menjadi titik belok dalam naskah besar Timur Tengah. Bukan karena ledakan yang lebih nyaring dari biasanya, bukan pula karena rudal-rudal Iran yang tiba-tiba menjadi lebih cerdas dari diplomasi PBB. Tapi karena dalam dua belas hari berikutnya, Israel, yang selama ini dikenal sebagai startup nation, mendapati dirinya bukan lagi pionir digital, melainkan spesimen yang tengah diuji dalam laboratorium geopolitik. Dunia menyaksikan bagaimana narasi teknologi yang dibangun puluhan tahun dengan dana miliaran dolar runtuh secepat server padam saat jaringan listrik lumpuh.

Awalnya, Israel masuk ke konflik ini dengan rasa percaya diri tinggi. Sistem pertahanan Iron Dome, reputasi militer yang digembar-gemborkan sebagai paling adaptif di dunia, dan keyakinan bahwa perang modern bisa dimenangkan dengan algoritma dan sensor. Tapi dalam kenyataan, mesin-mesin canggih tidak mampu menghadang 400 lebih rudal yang menembus langitnya. Pada hari ketiga, biaya militer sudah menembus US$5 miliar. Dan ketika hari ke-12 tiba, pengeluaran per hari mencapai US$725 juta. Sistem Iron Dome, yang seharusnya menjadi palang pintu digital negeri itu, menghabiskan biaya antara US$10 juta hingga US$200 juta per hari dan gagal total menghentikan kerusakan senilai US$1,47 miliar di sektor sipil.

Angka bukanlah bualan. Sekitar 38.700 klaim kerusakan diajukan. Lebih dari 11.000 warga sipil dievakuasi. Tiga puluh gedung pencakar langit di pusat keuangan Tel Aviv hancur dan tak bisa lagi digunakan. Soroka Medical Center di Beersheba jadi simbol kegagalan mutakhir: 50 orang terluka akibat rudal Iran yang tepat sasaran, menembus setiap lapisan sensor dan keangkuhan.

Namun yang paling menyakitkan bukanlah reruntuhan fisik. Yang paling menghancurkan adalah kehilangan yang tak bisa direkam satelit: kehancuran Wen Institute, rumah bagi 48 laboratorium terkemuka dunia di bidang bioteknologi dan pengobatan mutakhir. Dalam satu malam, Israel kehilangan aset intelektual senilai setengah miliar dolar. Dan lebih dari itu, ia kehilangan reputasi global sebagai pusat riset yang bisa dipercaya oleh perusahaan farmasi dunia. Deretan paten tentang terapi gen, pengobatan kanker, dan diagnostik canggih yang semestinya menjadi ekspor unggulan justru menjadi debu.

Negara yang selama dua dekade terakhir mencitrakan diri sebagai “Silicon Valley of the Middle East” kini terjebak dalam sindrom unicorn: terlalu cepat membakar sumber daya, terlalu lambat menyadari bahwa dunia nyata tidak tunduk pada logika valuasi. Pabrik Intel di Kiratgard, bagian penting dari rantai pasok global, berhenti beroperasi. Ribuan insinyur dan peneliti dikerahkan menjadi pasukan darurat. Riset ditinggalkan, ruang kendali berubah menjadi ruang perang.

Kementerian Keuangan Israel mengakui defisit melonjak tajam. Utang publik mencapai 75% dari Produk Domestik Bruto. Pemerintah kemudian meminta tambahan dana pertahanan sebesar US$857 juta, dan demi menutupnya, anggaran rumah sakit serta pendidikan dipangkas US$200 juta. Di jalan-jalan Yerusalem dan Haifa, protes pecah. Rakyat mempertanyakan keputusan untuk mengorbankan masa depan demi obsesi terhadap kontrol mutlak yang terbukti semu. Sekali lagi, negara mengabaikan pelajaran paling kuno dari sejarah: bahwa perang tidak pernah murah, dan kemenangan tidak pernah utuh.

Inflasi melonjak. Energi mahal. Rantai pasok terganggu. Penerbangan internasional dialihkan. Bandara Benion dua kali menghentikan operasi. Premi asuransi membubung tinggi. Israel menjadi pulau yang terisolasi bukan karena geografi, tetapi karena ketakutan kolektif dunia atas ketidakstabilan.

Di sisi lain, Iran pun porak-poranda. Situs nuklir di Natanz, Fordow, dan Isfahan rusak parah akibat serangan Israel dan Amerika. Tetapi yang membedakan adalah: Iran tidak pernah menjual citra dirinya sebagai pusat inovasi. Tidak ada mimpi teknologi yang digantungkan di langit Teheran. Karena itu, ketika hancur, Iran tidak kehilangan reputasi. Sebaliknya, mereka justru berhasil menyeret Israel masuk ke jurang yang selama ini dijauhinya dengan semangat futuristik: jurang perang konvensional dan kekalahan psikologis.

Israel yang biasanya memimpin opini global kini mulai ditinggalkan oleh simpati tradisional. Amerika Serikat dan sekutu Eropa masih berbasa-basi memberi dukungan diplomatik. Tetapi tekanan publik, kebingungan moral, dan disonansi geopolitik membuat hubungan itu terasa kaku dan sinis. Di pasar saham, shekel justru menguat 7%. Indeks Tel Aviv mencetak rekor. Namun ini bukan paradoks yang menggembirakan, melainkan sinyal bahwa investor global mulai melihat Israel sebagai negara perang—tempat aman untuk industri senjata, tetapi tidak lagi sebagai sumber ide masa depan.

Kerugian total yang diperkirakan mencapai US$17,8 miliar atau 3,3% dari PDB hanyalah angka. Yang hilang lebih dari itu: kepercayaan publik, masa depan teknologi, dan status global. Startup nation telah gagal me-reboot dirinya sendiri. Ini bukan sekadar kekalahan dalam satu babak geopolitik. Ini adalah ujian tentang bagaimana sebuah negara bisa terlalu percaya diri pada firmware nasionalnya, dan lupa memperbarui sistem nilai yang menopangnya.

Ketika Harvard Business Review dulu memuji Israel sebagai ekosistem startup paling resilien karena menyatukan militer, akademisi, dan pasar modal, tidak seorang pun membayangkan bahwa keterhubungan itu justru bisa menjadi kelemahan. Karena ketika semuanya jatuh bersamaan—sistem senjata, lembaga riset, dan pasar modal—tidak ada yang bisa saling menopang. Semuanya runtuh dalam orkestrasi simetris yang menakjubkan.

Mungkin inilah yang dimaksud Michel Foucault ketika berbicara tentang disiplin dan kontrol: bahwa kekuasaan yang terlampau efisien akhirnya menjadi beban, karena ia tidak menyisakan ruang untuk kegagalan. Dan di negeri seperti Israel, yang menjadikan efisiensi sebagai doktrin kenegaraan, tidak ada tempat untuk salah. Maka ketika kegagalan terjadi, guncangannya bersifat ontologis—bukan hanya fungsional.

Dalam dua belas hari, Israel dipaksa melihat dirinya sendiri tanpa cermin diplomatik. Dan yang terlihat bukanlah bangsa unggulan teknologi, melainkan negeri panik yang membakar patennya sendiri demi mempertahankan narasi kemenangan. Teknologi tidak bisa menggantikan harapan. Sensor tidak bisa menggantikan solidaritas. Dan startup tidak bisa menggantikan bangsa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *