Internet Vs Islam

Dulu, untuk mempertanyakan sebuah ayat, kau harus siap dengan lubang tak bernisan. Untuk menyanggah sebuah hadis, kau bisa kehilangan kepala—dan bukan hanya dalam metafora. Dunia lama dibangun dengan hierarki: kitab di atas manusia, ulama di atas kata, dan dogma di atas nalar. Tapi dunia berubah. Dan perubahan itu tak datang lewat perang atau revolusi berdarah. Ia datang lewat jaringan kabel, lewat sinyal Wi-Fi, lewat jari-jari yang menari di atas layar. Internet adalah revolusi yang tidak membunuh, tapi membuat dogma mati pelan-pelan.

Islam, seperti banyak sistem kepercayaan kuno, dibangun bukan hanya dengan teks suci, tapi dengan sistem pelindung terhadap pertanyaan. Ada benteng sensor, tembok taklid, dan penjaga gerbang yang menyebut dirinya ulama. Ayat-ayat dilafalkan tanpa perlu dipertanyakan, dan sejarah ditulis oleh pemenang yang kebetulan juga penguasa.

Dalam dunia seperti itu, kebenaran adalah apa yang dikatakan oleh yang paling keras suaranya, bukan yang paling benar logikanya. Maka jangan heran jika kritik terhadap Islam dianggap penghinaan, jika pertanyaan disebut pemberontakan. Ia tumbuh dalam ekosistem yang menolak cahaya baru. Tapi semua itu hanya bisa hidup selama dunia tetap gelap.

Lalu muncullah internet.

Internet tidak mengenal otoritas tunggal. Ia adalah taman liar ide-ide, perpustakaan global tanpa penjaga, debat terbuka tanpa moderator. Di sinilah sejarah yang tersembunyi muncul dari bayang-bayang, bukan dari kitab kuning, tapi dari digital scan dokumen abad ke-7. Di sinilah hadis-hadis yang dulu hanya dibaca para santri pesantren, kini bisa ditelusuri anak SMA di Blitar atau Berlin. Di sinilah, ayat yang kontradiktif bisa dicocokkan dan disanggah, bukan dengan kemarahan, tapi dengan kutipan ayat lain.

Kekuatan Islam historis bukan semata pada argumen, tapi pada monopoli informasi. Tapi monopoli itu telah digulingkan tanpa satu pun tembakan. Data adalah pembangkang paling tabah. Algoritma, meski bias, tidak takut pada fatwa. Dan generasi baru tidak lagi dibesarkan dengan rasa takut kepada “yang tidak boleh ditanya,” tapi dengan rasa penasaran pada “yang tidak pernah diajarkan.”

Tentu, bukan hanya Islam yang mengalami ini. Kekristenan sudah lebih dulu porak-poranda oleh kritik sejarah, arkeologi, dan tafsir baru. Tapi yang membuat kasus Islam berbeda adalah resistensinya terhadap keterbukaan. Ketika dunia bergerak ke arah pertanyaan, Islam (setidaknya versi ortodoksnya) masih hidup dalam mode jawaban mutlak.

Maka tak heran jika negara-negara Muslim hari ini ketakutan. Bukan kepada senjata, tapi kepada akun YouTube yang menjelaskan sejarah Muhammad secara kronologis. Bukan kepada bom, tapi kepada ebook gratis yang membongkar kontradiksi Al-Qur’an. Ulama menggigil bukan karena maksiat, tapi karena file PDF.

Mereka mencoba melawan. Mencabut akses, menutup situs, melabeli pengkritik sebagai murtad atau antek Zionis. Tapi kebenaran tidak bisa lagi dikurung dalam kitab cetakan Arab Saudi. Ia telah menjadi meme. Telah menjadi thread Twitter. Telah menjadi video TikTok satu menit yang menghancurkan konstruksi yang dibangun selama seribu tahun.

Heidegger pernah menulis tentang “Gelassenheit”—melepaskan diri dari dominasi teknologis. Tapi dunia Islam hari ini justru ketakutan pada teknologi karena ia tak mampu mendominasi balik. Inilah paradoksnya: dunia yang dulunya mengontrol lewat teks, kini diserang balik oleh teks—tapi dalam format HTML, bukan papirus.
Dan dari situ muncul pertanyaan filosofis yang lebih dalam: Apakah agama bisa hidup tanpa kekuasaan? Apakah kepercayaan tetap bisa tumbuh jika ia tak lagi bisa menghukum yang berbeda?

Islam hari ini sedang bernegosiasi dengan zaman. Ia bisa memilih dua jalan: bertransformasi dan berdialog dengan dunia terbuka, atau mengunci diri dalam paranoia dan semakin ditinggalkan. Seperti semua sistem besar dalam sejarah, yang bertahan bukan yang paling keras, tapi yang paling adaptif.
Internet bukanlah nabi baru. Tapi ia membawa wahyu dalam bentuk lain: keterbukaan, keragaman tafsir, dan kebebasan berpikir. Dan di altar digital itulah, kita sedang menyaksikan bukan akhir dari Islam, tapi akhir dari kekuasaan yang dulu bicara atas namanya.

Dan untuk pertama kalinya, suara-suara yang selama ini dibungkam, kini bisa berkata:
“Kami tidak takut pada Tuhan. Kami hanya takut pada mereka yang mengaku berbicara atas nama-Nya.”

Leave a Comment

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *