Di sebuah jalan yang tidak disebutkan namanya, seorang pengendara motor melintas dengan kecepatan yang terekam kabur dalam bidikan kamera. Tidak ada informasi tentang ke mana ia pergi, siapa yang menunggu di ujung jalan, atau mengapa ia terburu-buru. Namun dari gambar yang kabur itu, kita justru menemukan satu hal yang sangat jelas: bahwa kita semua, dalam banyak hal, sedang menjadi pengendara yang sama—melaju tanpa sempat memahami arah.
Kita tak tahu dari mana datangnya dorongan untuk tergesa. Seolah ada sesuatu yang mengejar, memaksa kita berlari, menyuruh kita sampai sebelum waktunya. Kita menua dalam ketergesaan, merancang hidup dengan skema dan target, menggantungkan kebahagiaan pada masa depan yang dipercepat. Dan ironisnya, ketika yang kita tunggu tak kunjung datang, kita malah menyalahkan waktu.
“Alam semesta tidak sedang terburu-buru,” begitu tulis kutipan yang menyertai gambar itu. Kalimat yang sederhana, namun menampar tanpa suara. Ia melanjutkan: “Kitalah yang sedang terburu-buru. Itu sebabnya kita cemas, stres, dan kecewa.”
Pernyataan ini bukan sekadar penghiburan spiritual, bukan pula retorika motivasi murahan. Ini adalah kritik tajam terhadap peradaban yang dibangun di atas jam weker, rapat Zoom, target kuartalan, dan iklan yang menjual rasa kurang sebagai gaya hidup. Peradaban yang mengukur keberhasilan dari seberapa cepat seseorang mencapai sesuatu, bukan dari apakah ia benar-benar memahaminya.
Mari kita mundur sejenak dari jalan raya pikiran kita yang sibuk. Lihat pohon di luar jendela. Ia tidak tergesa untuk tumbuh. Ia tidak menyalahkan angin karena rantingnya patah. Ia tidak merasa gagal karena musim gugur membuat daunnya runtuh. Pohon tahu: ada waktu untuk mekar, ada waktu untuk meranggas. Dan ia hidup, dengan tenang, dalam ritme itu.
Tapi manusia?
Kita menuntut jawaban bahkan sebelum pertanyaan selesai diajukan. Kita ingin panen sebelum menanam. Kita ingin seseorang mencintai kita bahkan sebelum sempat kita kenali luka-lukanya. Kita membeli buku-buku “how to” seolah hidup ini bisa diringkas dalam tiga langkah sukses dan lima kesalahan fatal. Kita melupakan bahwa ada hal-hal yang hanya bisa tumbuh dalam keheningan dan kesabaran—dua hal yang paling ditakuti oleh manusia modern.
Jean-Jacques Rousseau pernah berkata, “Patience is bitter, but its fruit is sweet.” Tapi di dunia hari ini, rasa pahit kesabaran lebih sering ditolak mentah-mentah. Kita ingin buah yang instan, rasa manis tanpa getir. Kita ingin semua serba sekarang. Dan karena itu, kita lupa bagaimana rasanya menunggu dengan percaya.
Padahal, kepercayaan yang sejati bukan sekadar yakin bahwa sesuatu akan datang. Tapi percaya bahwa jika itu memang untuk kita, ia tak akan pergi kemana-mana. Apa yang seharusnya menjadi milikmu, akan tetap menjadi milikmu. Bukan karena kamu mengejarnya mati-matian, tapi karena semesta menyimpannya hingga kau siap.
Tapi bagaimana jika tidak datang?
Itu pertanyaan yang membuat banyak orang kembali ke jalan yang tergesa. Kita merasa bahwa jika sesuatu belum juga tiba, maka pasti ada yang salah—entah dengan kita, dengan usaha kita, atau dengan hidup itu sendiri. Padahal, kadang jawaban paling jujur dari semesta adalah diam. Ia tidak menolak. Ia hanya tidak menjawab. Dan dalam diam itu, ada banyak hal yang sebenarnya sedang disiapkan. Bukan untuk menghukum, tapi untuk menyembuhkan.
Dalam dunia yang dikendalikan oleh algoritma dan logistik, ini terdengar seperti omong kosong. Kita diajari bahwa waktu adalah uang. Bahwa kecepatan adalah kekuatan. Bahwa siapa cepat, dia dapat. Tapi tidakkah itu juga yang membuat kita kehilangan diri?
Buru-buru tumbuh dewasa, buru-buru menikah, buru-buru sukses, buru-buru pamer, buru-buru bertobat setelah hancur, lalu buru-buru pulih agar bisa kembali pamer.
Dan setelah semua itu, kita tetap merasa kosong. Karena yang kita kejar bukan kebenaran, melainkan validasi. Karena yang kita tunggu bukan makna, melainkan pengakuan.
Heidegger pernah menulis tentang Gelassenheit, suatu sikap membiarkan sesuatu menjadi seperti dirinya sendiri. Bukan berarti pasif atau menyerah, tapi merelakan segala sesuatu berproses dalam waktunya sendiri. Membiarkan bunga mekar pada musimnya. Membiarkan hidup membentuk kita, bukan kita memaksakan bentuk pada hidup.
Namun tak semua orang siap dengan konsep itu. Sebagian besar dari kita masih menuntut jawaban instan, hasil cepat, bahkan makna yang bisa dipaketkan dalam 280 karakter. Kita memperlakukan diri kita sendiri seperti proyek startup: harus berkembang pesat, disruptif, dan “go public”.
Lalu bagaimana jika kita memilih untuk tidak terburu-buru?
Mungkin akan ada banyak yang mencibir. Banyak yang menyebut kita malas, tidak ambisius, tidak kompetitif. Tapi bukankah itu suara yang sama yang membuat kita kelelahan selama ini? Bukankah itu tekanan yang membuat kita menua sebelum waktunya?
Ada keindahan dalam proses yang lambat. Seperti fermentasi yang menghasilkan keju terbaik, atau waktu yang menjadikan teh lebih dalam rasanya. Ada keheningan yang subur, yang memungkinkan sesuatu tumbuh tanpa suara.
Barangkali itu juga yang dimaksud dalam tulisan tersebut. Bahwa jika kita mempercayai ritme semesta, kita tidak akan lagi melihat keterlambatan sebagai kegagalan, melainkan sebagai jeda yang diperlukan agar kita tidak kehilangan makna.
Percaya, bahwa yang memang untukmu, akan tetap sampai padamu. Tidak perlu diseret. Tidak perlu dipaksakan. Tidak perlu dipercepat.
Dalam dunia yang terus mengukur langkah, keberanian terbesar mungkin bukan berlari lebih cepat—melainkan tahu kapan harus berhenti. Duduk. Bernapas. Dan berkata: “Jika hari ini belum waktunya, maka aku akan menunggu. Dengan tenang. Dengan utuh.”
Karena sungguh, yang terburu-buru itu bukan waktu. Bukan semesta. Tapi ketakutan dalam diri kita sendiri.
Dan satu-satunya cara untuk mengalahkannya, bukan dengan semakin berlari—melainkan dengan berani melambat.