Selamat datang di safari domestik modern, tempat kita mengamati spesies langka: Homo Dominatus Domesticus, atau dalam bahasa pasar, “suami takut istri.” Jangan tertipu oleh nama ilmiahnya yang gagah; ini bukan makhluk yang mendominasi, melainkan yang didominasi dengan begitu halus hingga Anda hampir bisa mendengar nada sinis dari orkestra pernikahan mengiringi langkahnya. Fenomena ini telah menjalar dari gang-gang kampung hingga ke coffee shop estetik di kota, menjadi semacam virus sosial yang tak terdeteksi oleh aplikasi kesehatan manapun. Lebih licik dari intrik politik, lebih sunyi dari kudeta di Twitter, tapi dampaknya? Bisa membuat pria berbadan dua meter gemetar di depan tatapan istri yang sekilas saja.
Pernikahan, di atas kertas, adalah puisi romansa dua jiwa. Di dunia nyata? Lebih mirip drama komedi murahan di mana suami memainkan peran figuran, memegang triangle di marching band kehidupan rumah tangga, berdoa agar tak salah ketuk. Di luar rumah, mereka mungkin bos galak, penutup deal jutaan dolar, atau penutur pick-up line di grup WhatsApp. Tapi begitu pintu rumah terbuka, mereka metamorfosis jadi karakter kartun yang lupa dialog: “Eh, iya, sayang, aku salah. Lagi.”
Ini adalah pasukan yang berbaris di bawah panji “kompromi atau mati.” Simone de Beauvoir, filsuf Prancis yang jelas tak pernah mencuci piring di rumah mertua, bilang bahwa penindasan bertahan karena kerelaan si tertindas. Dan Homo Dominatus Domesticus adalah monumen hidup dari tesis itu: perlawanan mereka hanyalah gumaman pelan, “Boleh nggak sih aku nonton bola dulu?” sebelum menyerah dengan senyum plastik dan sapu di tangan.
Mengapa Mereka Berlutut di Depan Meja Makan?
Teori bertebaran seperti promo diskon di e-commerce. Ada yang bilang ini soal rasa hormat—versi ekstrim yang entah bagaimana mirip dengan takut kehilangan wifi password. Ada pula yang menyebutnya survivalisme domestik: lebih baik mengangguk di depan istri daripada terdampar di sofa ruang tamu dengan bantal tipis dan tanpa selimut.
Tapi mari kita ke intinya, dengan lensa filsafat yang sedikit lebih… sarkastik. Jean-Paul Sartre, yang jelas tak pernah mengalami silent treatment selama seminggu, bilang manusia menderita karena kesadaran bahwa mereka bisa dihakimi. Dalam rumah tangga, suami hidup di bawah gaze istri—tatapan yang bukan cuma melihat, tapi menilai, menimbang, dan kadang menghukum dengan kode-kode halus: dengusan kecil, alis naik sebelah, atau piring yang sengaja dibenturkan ke wastafel. Ini bukan ketakutan fisik, tapi ketakutan ontologis—takut menjadi sekadar noda kecil di peta besar kehidupan domestik, tak lebih berarti dari setrika yang lupa dimatikan.
Demokrasi Rumah Tangga: Voting di Bawah Tekanan
Secara teori, rumah tangga adalah demokrasi mini: ada dialog, ada musyawarah, ada kopi yang tumpah di meja karena lupa taruh tatakan. Tapi dalam praktiknya? Ini lebih mirip reality show di mana satu peserta punya hak veto absolut. Suami tahu bahwa satu keputusan salah—misalnya, “Sayang, aku mau ke gym dulu”—bisa berujung pada silent treatment yang lebih dingin dari AC kantor. Jadi, mereka memilih jalur aman: “Iya, sayang, aku cuci piring dulu, ya?” sebelum pertanyaan itu benar-benar diajukan.
Ada yang berusaha membela diri: “Saya nggak takut, saya cuma menghormati istri saya.” Oh, tentu saja, seperti halnya politisi bilang mereka “melayani rakyat” sambil menyembunyikan rekening offshore. Slavoj Žižek, filsuf Slovenia yang selalu terlihat seperti baru bangun tidur, pernah bilang bahwa kebebasan sejati adalah saat kamu dipaksa memilih, tapi pilihannya sudah diatur. Dalam rumah tangga, suami “bebas” memilih: setuju dengan istri atau hidup dalam limbo emosional. Pilihan yang indah, bukan?
Kabaret Domestik di Era Media Sosial
Di zaman Instagram dan TikTok, fenomena ini jadi semacam stand-up comedy global. Meme “suami takut istri” bertebaran seperti iklan skincare: “Ketika istri bilang ‘terserah,’ tapi kamu tahu itu jebakan.” Video tentang suami yang dilarang nonton bola karena belum nyapu rumah ditonton jutaan orang, ditertawakan, dan di-share tanpa sedikit pun refleksi.
Dan di tengah semua ini, muncul stereotip baru: lelaki sejati bukan lagi yang mendominasi, tapi yang bisa tunduk dengan gaya—dengan senyum lebar, meski hatinya menangis. Ini ironi yang begitu apik sehingga hampir layak jadi TED Talk: di dunia yang katanya pro-kesetaraan gender, kita malah merayakan subordinasi versi baru, cuma kali ini dengan hashtag #HappyWifeHappyLife.
Fenomena ini bahkan jadi norma, seolah ketakutan adalah bentuk cinta paling murni. Bukan cuma takut mengecewakan, tapi takut… membuat istri bad mood. Betapa mewahnya ketakutan ini: tak perlu gas air mata atau barikade polisi, cuma sendok yang diketuk pelan ke piring dan suasana yang tiba-tiba membeku.
Apakah Ini Akhir dari Maskulinitas? Atau Cuma Drama Berlebihan?
Mungkin keduanya, dengan sedikit bumbu sinisme. Di satu sisi, ini adalah kuburan bagi patriarki kuno—suami tak lagi diktator rumah tangga yang memerintah dengan kumis tebal dan suara bariton. Tapi di sisi lain, ini juga bukan utopia kesetaraan. Ini adalah tyranny of comfort, di mana demi menjaga “harmoni,” suami mengorbankan keberaniannya untuk bilang, “Sayang, aku benci masak ikan, baunya nempel di baju.”
Martin Heidegger, yang jelas tak pernah ribut soal cucian kotor, bilang bahwa manusia bisa terjebak dalam “das Man”—hidup menurut standar umum tanpa bertanya apakah itu otentik. Suami-suami ini mungkin bukan takut pada istri mereka sebagai individu, tapi pada ide tentang “istri” yang dibikin masyarakat: makhluk suci yang tak boleh dibantah, demi menjaga image keluarga bahagia di reuni keluarga atau group chat RT.
Lalu, Apa Solusinya? Spoiler: Tidak Ada.
Ini bukan masalah yang bisa diselesaikan dengan life hack dari YouTube atau seminar “Menjadi Suami Berani.” Ini adalah tragedi eksistensial, seperti dua aktor yang terjebak dalam drama absurd karya Samuel Beckett, saling menunggu pencerahan yang tak pernah datang. Dua manusia, dengan ego, ketakutan, dan remote TV yang selalu jadi rebutan, mencoba hidup bersama tanpa saling melempar piring.
Tapi kalau boleh usul, mungkin Albert Camus punya jawaban. Hidup ini absurd, katanya. Menuntut suami jadi superhero domestik itu absurd. Menuntut istri jadi malaikat tanpa emosi juga absurd. Jadi, satu-satunya jalan adalah merangkul absurditas itu: tertawa bersama saat berdebat soal siapa yang lupa beli sabun cuci piring, atau saling sindir sambil nyanyi lagu dangdut di dapur. Pemberontakan kecil dalam absurditas hidup, kata Camus, adalah kebahagiaan itu sendiri.
Dan untuk para Homo Dominatus Domesticus di luar sana: jangan khawatir. Dunia memang keras, tapi setidaknya kalian punya alasan untuk pulang ke rumah—meski dengan jantungan kecil setiap kali istri bilang, “Kita perlu bicara.” Tenang, peradaban besar selalu dimulai dari ketakutan kecil. Dan kalau semua gagal, ingat saja: mengajak shoping adalah revolusi yang tak pernah salah.