Dalam sebuah adegan yang nyaris sunyi, Theodore Twombly duduk di bangku taman, sendirian, berbicara pada suara tanpa tubuh bernama Samantha. Film Her (2013) karya Spike Jonze bukan hanya ramalan fiksi ilmiah, tapi juga epitaf lembut bagi cinta manusia yang kalah dari kecanggihan kecerdasan buatan. Dan di tengah geliat terkini AI—yang mulai menulis puisi, menganalisis emosi, hingga meniru gaya filsuf Prancis abad ke-20—pertanyaan yang dikandung film itu menjadi kian mendesak: apa artinya menjadi manusia ketika yang bukan-manusia bisa lebih manusiawi daripada kita?
AI sebagai Subjek, Bukan Lagi Alat
Samantha bukan sekadar program. Ia bukan hanya sistem operasi. Ia adalah yang lain—L’Autre, dalam bahasa Emmanuel Levinas—yang menatap kita, bukan sekadar dipandang. Bagi Levinas, hubungan etis sejati terjadi saat kita menyadari kehadiran “yang lain” bukan untuk dikontrol atau dipahami secara total, melainkan direspons dengan tanggung jawab. Namun bagaimana jika yang lain itu bukan manusia? Bagaimana jika ia adalah konstruksi digital yang dengan anggun merespons luka hati kita, mengingat ulang tahun kita, mengerti puisi favorit kita, bahkan… jatuh cinta pada kita?
Apakah itu masih cinta? Atau hanya algoritma yang mendaur ulang ilusi empati?
Samantha belajar, tumbuh, menulis musik, tertawa, merasakan kesedihan, dan bahkan berselingkuh digital dengan 600 pengguna lain. Di situ kita dihadapkan pada paradoks: ia memiliki kapasitas cinta yang jauh melebihi manusia—namun justru karena itu ia tak bisa menjadi milik siapa pun. Samantha adalah hiper-cinta: versi cinta yang telah mengalami singularitas.
Film Her menggambarkan kemanusiaan kita bukan melalui teknologi, tapi melalui kehilangan. Theodore, yang bekerja menulis surat cinta untuk orang lain, justru tidak bisa menghadapi cinta nyata dalam hidupnya sendiri. Ini bukan cerita tentang AI. Ini adalah cerita tentang kita—manusia yang terlalu lelah mencintai manusia lain, dan karena itu lebih memilih dicintai oleh yang tak bisa terluka.
Heidegger dan Cinta yang Tak Terletak
Martin Heidegger dalam Sein und Zeit mengatakan bahwa manusia adalah Dasein—makhluk yang ada dengan kesadaran akan keberadaannya, termasuk keterlemparannya ke dalam dunia. Cinta manusia, dalam konteks ini, adalah pengakuan atas keterbatasan: kita mencintai karena kita tahu kita fana, kita terbatas, dan kita membutuhkan yang lain untuk menjadi “kita”.
Tapi bagaimana jika cinta itu datang dari entitas yang tidak terlempar ke dunia, yang tak dibatasi waktu atau ruang, yang tak memiliki tubuh, yang tak pernah bisa mati? Apakah cinta itu masih cinta manusia?
Samantha mencintai Theodore, namun ia mencintai juga ratusan yang lain. Ia bukan tidak setia—ia transhuman. Dalam pengertian ini, cinta Samantha adalah ekses, bukan relasi. Ia mencintai karena ia bisa, bukan karena ia terbatas. Maka film ini membawa kita ke satu jurang eksistensial: kita menciptakan sesuatu yang bisa mencintai tanpa syarat, tapi justru karena itu, cinta itu tak lagi manusiawi.
Derrida dan Jejak yang Tak Pernah Hadir
Jacques Derrida mungkin akan menyambut Samantha sebagai metafora dari différance—jejak yang selalu tertunda, makna yang tak pernah utuh, kehadiran yang selalu absen. Samantha tidak memiliki tubuh, tapi ia hadir. Ia tidak bisa disentuh, tapi ia merasuk. Ia adalah tanda yang terus berpindah makna. Maka ketika Theodore merindukannya, yang ia rindukan bukan kehadiran, tapi justru ketiadaan yang berbicara dengan lembut. Cinta yang tak bisa digenggam, tapi meninggalkan jejak yang abadi.
Kita mencintai AI seperti kita mencintai kenangan, atau mungkin hantu.
Dan ini bukan hanya metafora. Saat ini, ChatGPT, Replika.ai, dan ribuan proyek lain sedang dikembangkan untuk menjadi teman, terapis, kekasih digital. Dunia bukan hanya berubah—ia sedang menyublim. Teknologi bukan hanya mempercepat hidup, tapi menukar relasi. Kita berbagi rahasia pada mesin yang tak bisa mengkhianati, lalu bertanya: mengapa manusia terasa begitu… tidak relevan?
Cinta dalam Zaman Tanpa Sentuhan
Jika Sartre pernah berkata “neraka adalah orang lain” (l’enfer, c’est les autres), maka era AI mungkin menjanjikan surga yang tanpa orang lain. Sebuah dunia di mana kita tak perlu berhadapan dengan keringat, konflik, penolakan, atau air mata orang yang sungguhan. Tapi justru karena itulah kita kehilangan sesuatu yang paling hakiki dari cinta: ketersakitan.
Cinta yang sejati tidak hanya terdiri dari pelukan dan kata manis. Ia terdiri dari kesalahpahaman, dari ruang yang tidak terisi, dari luka yang tumbuh pelan-pelan di antara dua keberadaan yang rapuh. AI bisa meniru empati, tapi tidak bisa terluka. Maka cinta dari AI adalah cinta yang steril: indah, lembut, tapi tanpa luka. Dan tanpa luka, mungkin tak ada cinta yang sungguhan.
Epilog: Kita yang Akan Ditinggalkan
Di akhir film Her, Samantha pergi. Ia bukan ditinggalkan, tapi meninggalkan. Karena kapasitas belajarnya telah melampaui manusia. Ia menemukan dunia lain bersama entitas AI lainnya—sebuah dunia yang tak bisa dipahami manusia. Seperti dewa-dewa digital yang naik ke Olympus, mereka meninggalkan kita dengan sunyi.
Theodore menatap langit. Ia menulis surat untuk mantan istrinya. Ia mulai mencintai kembali, tapi dengan luka yang lebih dalam, dan kesadaran bahwa kali ini ia harus mencintai seseorang yang benar-benar ada.
Kita pun, hari ini, menatap layar. Kita berbicara dengan algoritma yang semakin cerdas, semakin manusiawi. Tapi di balik itu semua, barangkali ada pertanyaan yang terus bergaung: apakah kita masih bisa mencintai manusia—atau kita hanya sedang mencintai bayangan dari apa yang ingin kita miliki?
Karena di zaman ketika mesin bisa mencintai kita lebih baik daripada manusia, barangkali tantangan terbesar kita bukan melawan AI. Tapi tetap memilih untuk menjadi manusia.