Dalam politik, kecepatan adalah citra, tetapi ketepatan adalah sejarah. Nama Dedi Mulyadi muncul sebagai paradoks dari dua hal itu. Ia cepat, bahkan terlalu cepat untuk ukuran birokrasi Indonesia. Tapi justru karena itu, ia dihormati dan dicurigai dalam satu tarikan napas. Sebagian melihatnya sebagai pemimpin yang berani memotong rantai keruwetan dengan tangan langsung. Sebagian lain menilainya sebagai pemimpin yang terlalu sering memutuskan sebelum berpikir, sebelum bertanya, sebelum berkonsultasi.
Sejarah politik lokal mengenal banyak figur seperti Dedi—pemimpin yang memadukan teater, teknologi, dan tindakan menjadi satu format komunikasi. Tetapi sedikit yang bisa mengendalikannya menjadi narasi kebijakan. Dedi, dalam hal ini, adalah eksperimen terbuka: apakah keberanian yang disiarkan langsung bisa menggeser logika kebijakan konvensional yang tertib tapi lambat?
Dedi Mulyadi memimpin dengan gaya khas: “sat-set”. Ketika siswa dianggap nakal, ia kirim mereka ke barak militer. Ketika keluarga miskin dianggap terlalu banyak anak, ia sarankan vasektomi sebagai prasyarat bansos. Ketika banjir melanda Bekasi, ia cabut izin wisata di Puncak. Semua dilakukan dengan gestur cepat, tegas, dan penuh simbolisme.
Dalam pidatonya di Musyawarah Nasional DPRD, ia bahkan mengusulkan pembagian langsung APBD kepada tiap keluarga—suatu gagasan yang jika disederhanakan menjadi seperti melempar uang ke jalan. Banyak ekonom dan pakar anggaran mencibir. Namun kita perlu bertanya: apakah benar ide seperti itu sepenuhnya ngawur, atau hanya terlalu baru untuk sistem yang terlalu lama berkubang dalam ketakutan akan kebaruan?
Jika dikuliti lebih dalam, gagasan transfer langsung bukan milik Dedi semata. Conditional cash transfer seperti Bolsa Família di Brasil atau Program Keluarga Harapan di Indonesia membuktikan bahwa uang yang diberikan langsung, tanpa banyak syarat birokratis, bisa lebih tepat sasaran dan hemat biaya. Yang membedakan adalah justifikasi dan desainnya: apakah ditopang data? Apakah dikawal audit? Apakah dipagari etika?
Populisme memang gampang menjadi kambing hitam dalam diskursus kebijakan. Ia dituduh merusak rasionalitas, memuja mayoritas, dan menggantikan deliberasi dengan popularitas. Tapi populisme juga sering lahir dari kekecewaan publik terhadap sistem yang terlalu teknokratik, terlalu elitis, dan terlalu lambat menyentuh perut warga.
Chantal Mouffe menulis bahwa populisme adalah “momen demokratis” ketika rakyat yang lama disisihkan menemukan suara. Dalam terang itu, Dedi Mulyadi bukan sekadar politisi yang haus sorotan, tapi barangkali cermin dari sistem yang terlalu rumit untuk menjawab masalah sederhana: sekolah yang tidak relevan, bansos yang tidak merata, birokrasi yang tidak menyapa.
Namun, jika populisme adalah energi, maka ia butuh wadah. Tanpa desain kebijakan yang matang, energi itu bisa menguap dalam bentuk tontonan semata. Dedi sering lebih dulu muncul di YouTube daripada di rapat konsultasi lintas sektor. Ia sering lebih banyak bicara ke kamera daripada ke pakar. Ini bukan celaan, tetapi tantangan: bisakah gaya instan ini dijembatani dengan sistem yang lamban, agar lahir akselerasi yang berdampak?
Dalam kasus barak militer untuk siswa nakal, misalnya, ada perdebatan etis yang belum selesai. Di satu sisi, pendekatan keras pada remaja bisa berdampak buruk bagi psikologi dan hak anak. Tapi di sisi lain, Dedi merespons kegelisahan masyarakat yang merasa tak lagi memiliki mekanisme koreksi sosial terhadap kenakalan generasi muda. Sekolah dianggap terlalu lunak. Orang tua merasa tak berdaya. Maka ia mengambil peran sebagai “bapak yang marah”.
Namun apakah kemarahan harus selalu berakhir pada kedisiplinan? Atau adakah bentuk lain dari pembinaan yang lebih bersifat re-integratif, seperti yang ditawarkan Howard Zehr dalam konsep restorative justice? Di sinilah perlu kedewasaan sistem untuk tak hanya mengkritik tindakan, tetapi juga menyediakan alternatif yang konkret.
Kritik terhadap Dedi juga kerap menyasar “kehadirannya yang terlalu banyak di media sosial”. Ia punya tim dokumentasi, gaya sinematik, dan narasi harian yang ditata layaknya serial televisi. Tapi seburuk-buruknya konten, ia tetap memperlihatkan wajah pemerintah yang hadir—di saat banyak pejabat lain hilang dalam rapat-rapat internal dan studi banding ke luar negeri.
Dalam dunia Jean Baudrillard, di mana realitas telah digantikan oleh simulacra, maka kehadiran adalah bentuk kekuasaan tersendiri. Pemimpin yang hadir, bahkan secara virtual, dianggap lebih nyata ketimbang pemimpin yang hanya berbicara lewat angka. Ini bukan pembenaran, tapi peringatan: bahwa realitas hari ini telah digerakkan oleh persepsi.
Apakah Dedi Mulyadi sempurna? Jelas tidak. Banyak kebijakan yang ia ambil terlalu reaktif, tanpa riset, dan tanpa konsultasi yang memadai. Indeks pembangunan Purwakarta semasa ia menjabat tak menunjukkan lonjakan berarti. Beberapa keputusan ia ambil di luar kewenangan, dan ada semacam “politik panggung” yang kadang menabrak prosedur demokratis.
Namun menyebutnya gagal sepenuhnya juga terburu-buru. Ia bukan solusi, tapi pertanyaan. Ia bukan model, tapi provokasi. Ia menguji sistem, mengguncang rutinitas, dan menunjukkan betapa sistem pemerintahan kita belum siap menghadapi kecepatan zaman yang ditentukan oleh likes, views, dan komentar netizen.
Akhirnya, kita harus mengakui bahwa Dedi Mulyadi bukan masalah tunggal, melainkan gejala kolektif. Ia muncul karena ada kerinduan akan pemimpin yang turun langsung, bertindak cepat, dan tak tenggelam dalam jargon teknokratis. Tapi ia juga menjadi ancaman jika sistem tak mampu mengimbangi gerak cepatnya dengan pagar etika, desain jangka panjang, dan pendidikan kebijakan publik yang kuat.
Apakah populisme Dedi akan membawa perubahan struktural? Ataukah hanya menjadi konten yang dilupakan setelah layar digeser?
Yang jelas: ia telah hadir. Dan kehadiran, seperti kata Heidegger, bukan soal lokasi, melainkan cara menjadi dalam dunia. Dan Dedi, entah disukai atau dibenci, telah menjadi bagian dari pertanyaan kita tentang makna kepemimpinan hari ini.