
Hagar: Teologi dari Rahim yang Dibuang
Pada banyak kisah keagamaan, Tuhan muncul lewat langit yang terbuka, gunung yang berguncang, atau nabi yang membawa hukum ilahi. Tapi dalam satu cerita yang nyaris selalu dibaca setengah-setengah, Tuhan muncul bukan di altar atau mimbar. Ia hadir di tepi sumur, di tengah padang gurun, mendekati seorang budak perempuan yang sedang hamil, terusir, dan menangis sendirian. Namanya Hagar. Dalam catatan kitab suci, ia bukan nabi, bukan tokoh utama, bahkan nyaris tidak dianggap tokoh. Tapi dari rahimnya lahirlah Ismail—dan darinya pula, lahir sejarah yang penuh luka, yang diwariskan turun-temurun oleh tiga agama besar.
Kisah Hagar bukan kisah spiritual biasa. Ini bukan dongeng suci yang menyenangkan dibaca anak-anak. Ini kisah pahit tentang bagaimana agama—sebagai institusi, sebagai narasi, sebagai sistem pewarisan—dibangun di atas tubuh perempuan yang dijadikan alat. Ia dipinjam rahimnya, dibungkam suaranya, lalu dibuang statusnya. Kita bisa menyebutnya ujian iman atau drama keluarga nabi, tapi kebenaran paling telanjang dari cerita ini adalah: Hagar tidak diminta persetujuannya saat tubuhnya dijadikan tempat menaruh harapan orang lain. Dan lebih ironis lagi, saat keajaiban lahir dari tubuhnya, ia malah diusir seperti hantu yang tidak diundang dalam perayaan.
Dalam Kejadian pasal 16, Sarah, istri Abraham, memberikan Hagar kepada suaminya agar bisa memiliki anak “melalui dia.” Dunia saat itu tak memberi ruang pada perempuan mandul selain rasa malu. Maka dipinjamkanlah rahim budak, supaya garis keturunan tetap berjalan dan ego laki-laki tetap terjaga. Tapi yang luput disadari: Hagar bukan rahim berjalan. Dia manusia. Dia punya luka, punya marah, dan kelak, punya Tuhan yang mendengarnya.
Lalu datang ironi berikutnya. Setelah Hagar hamil, Sarah murka karena budaknya mulai “merendahkannya.” Apakah Hagar benar-benar sombong, atau itu hanya tafsir dari perempuan yang merasa posisinya terancam oleh fungsi biologis budaknya? Dunia yang mengukur perempuan dari rahimnya memang kejam. Ketika satu rahim mulai berfungsi dan satu lagi tidak, maka yang satu menjadi ancaman dan yang lain menuntut balas.
Abraham, laki-laki pilihan Tuhan, tidak berbuat apa-apa. Ia berkata, “Lakukanlah kepada budakmu itu apa yang kau kehendaki.” Dengan kata lain: urus sendiri. Ini bukan hanya suami yang lepas tangan. Ini patriark agama besar yang tak mampu menyelesaikan konflik domestik. Dan kita masih menyebutnya teladan iman?
Sarah menyiksa Hagar. Dalam teks Ibrani, kata yang dipakai untuk “menindas” Hagar adalah anah—kata yang sama dipakai saat Firaun menindas Israel. Jadi, sebelum Israel diperbudak Mesir, seorang Mesir bernama Hagar sudah lebih dulu diperbudak oleh Sarah. Sebelum Musa memisahkan laut, Sarah memisahkan rumah. Ironi ini terlalu nyaring untuk diabaikan.
Lalu Hagar lari. Bukan dari dosa, bukan dari Tuhan, tapi dari kekerasan rumah tangga para nabi. Dan di padang gurun, ketika ia hamil sendirian tanpa status, tanpa perlindungan, tanpa hak, Tuhan datang. Tapi tunggu dulu. Ini bukan kisah penyelamatan instan. Tuhan tidak langsung mengutuk Sarah atau menegur Abraham. Yang Tuhan katakan kepada Hagar justru: “Kembalilah kepada nyonyamu dan tunduklah.”
Sungguh? Kembali ke tempat kekerasan? Banyak pembaca modern, terutama perempuan, tersentak. Ini Tuhan atau atasan perusahaan outsourcing? Tapi kemudian datang sesuatu yang lebih pelik dari sekadar nasihat: Tuhan memberi Hagar janji. Bukan janji sosial, tapi janji eksistensial. Bahwa anak dalam kandungannya akan menjadi besar. Bahwa ia akan menjadi bangsa. Dan bahwa Tuhan mendengar.
Puncaknya adalah ketika Hagar, perempuan Mesir, budak yang ditolak, berani menamai Tuhan: El-Roy—Dia yang melihatku. Dalam seluruh kitab, hampir selalu Tuhan yang memberi nama. Tapi di sini, Hagar membalik skrip. Ia tidak hanya dilihat oleh Tuhan. Ia melihat balik, dan menamai. Ini bukan sekadar pengalaman spiritual. Ini adalah pemberontakan epistemologis: perempuan tak bernama memberi nama pada yang Mahakuasa.
Lalu datang lagi kekerasan kedua. Setelah Isak lahir dan disapih, Sarah melihat Ismail—anak Hagar—sedang bermain. Cuma bermain. Tapi cukup jadi alasan untuk mengusir lagi. Kali ini bukan hanya tubuh Hagar yang ditolak, tapi darah keturunannya. “Anak budak itu tidak akan menjadi ahli waris.” Maka Hagar dan Ismail diusir. Diberi sebotol air dan sebungkus roti. Dibiarkan berjalan menuju padang gurun kematian.
Dan ketika air habis, Hagar menjauh, duduk di bawah semak, tak sanggup melihat anaknya mati. Di titik inilah, lagi-lagi Tuhan muncul. Tapi lucunya, suara yang didengar Tuhan bukan tangis Hagar, tapi tangis Ismail. Tuhan tidak menciptakan air baru. Ia hanya “membuka mata” Hagar dan menunjukkan bahwa sumur sudah ada. Tuhan bukan penyelamat yang menurunkan mukjizat dari langit. Ia hanya menunjukkan bahwa harapan kadang sudah ada di sekitar, meski tertutup oleh trauma.
Hagar menetap. Ismail tumbuh. Mereka membentuk bangsa. Tapi dalam doktrin resmi tiga agama, keturunan Ismail tetap dianggap anak dari budak, bukan ahli waris sah. Bahkan hari ini, retorika teologi masih memandang anak-anak Hagar sebagai yang tersesat, yang bukan umat pilihan, yang tak punya silsilah ilahi.
Dan di sinilah titik paling getir dari seluruh kisah ini: agama-agama besar dibangun di atas trauma yang tidak pernah disembuhkan. Dan perempuan seperti Hagar tetap disisihkan dari ruang warisan, meski rahim merekalah yang melahirkan sejarah.
Jadi, jika hari ini ada perempuan diusir karena status sosialnya, ditolak karena warna kulitnya, dianggap tak sah karena tak cocok tafsir kitab, barangkali Hagar sedang berdiri di sampingnya. Menuntunnya ke tepi sumur. Dan sesekali menoleh ke langit, bukan untuk minta dibalas, tapi hanya ingin memastikan bahwa Tuhan masih melihat. Dan kita?
Kita sibuk bikin seminar. Menyusun silsilah. Menentukan siapa yang sah masuk surga. Kita terlalu sibuk menulis dari tenda Sarah, sampai lupa ada perempuan di padang gurun yang sedang menggali sumur untuk anak-anak yang kita buang.
Dan barangkali, justru di sanalah Tuhan tinggal.
Tinggalkan Balasan