
Hikayat Para Filsuf Dan Minumannya
Kita terlalu sering mengutip pemikiran para filsuf, tapi lupa apa yang mereka teguk ketika sedang kebingungan dengan dunia. Seolah Kant lahir dari ruang steril perpustakaan dan Nietzsche menulis Zarathustra setelah yoga pagi dan smoothie organik. Padahal, banyak gagasan besar lahir dari gelas yang bau alkohol, cangkir kopi gosong, atau bahkan air hujan yang dikira anggur karena putus asa.
Mari kita luruskan sejarah. Sebagian filsuf besar adalah pemabuk, penyeduh obsesif, atau pengisap kafein akut yang, kalau hidup hari ini, pasti di-ban dari semua komunitas self-care Instagram.
Socrates meminum anggur encer sambil menyiksa orang dengan pertanyaan. Ia tidak mabuk, hanya menikmati momen ketika lawan bicaranya mulai kehilangan arah. Ia menyeduh ketahanan logika, sementara yang lain terseret ke absurditas percakapan. Bayangkan duduk semeja dengannya sampai dini hari, dicecar tentang arti keadilan atau apakah seekor ayam termasuk manusia. Dan yang lebih aneh dari hidupnya adalah cara matinya: meneguk racun cicuta dengan tenang. Sementara itu, Plato, yang terlalu sibuk mengejar dunia ide, mungkin hanya minum air putih dalam wadah geometris. Jika tersedia aqua galon di zamannya, ia pasti akan membuat kategori baru: Form of Hydration.
Diogenes, si filsuf gelandangan, tak sudi minum dari cangkir. Ia melihat anak kecil minum dengan tangan, lalu membuang mangkuknya. Hari ini ia mungkin akan meledek kita yang bawa tumblr stainless sambil membicarakan eco lifestyle. Ia akan menyebutmu munafik: menyelamatkan bumi sambil tetap kerja di korporasi yang membakar hutan.
Kant bangun jam lima pagi dan menyeduh kopi dengan ketelitian horolog. Satu sendok. Takar. Aduk. Tulis. Filosofi baginya adalah sistem, dan sistem butuh kafein yang taat aturan. Kalau airnya terlalu panas, logika bisa rusak. Kalau gulanya kelebihan, bisa muncul konsep imperatif kategoris rasa mangga.
Sementara itu, Nietzsche menulis sambil gemetar. Cangkir kopinya bukan untuk sarapan, melainkan untuk menjaga kewarasan yang tinggal seutas benang. Kalau kopi bisa berteriak, mungkin ia akan minta dikurangi dosis. Tapi Nietzsche terlalu sibuk menulis tentang jurang, Tuhan yang mati, dan kemauan untuk berkuasa—semua diseduh dalam satu tegukan tanpa susu.
Sartre lebih fleksibel: kopi hitam, rokok panjang, dan kadang-kadang alkohol murah. Ia menulis sambil melihat absurditas hidup melintas di jendela. Minumannya bukan sekadar minuman, tapi satu-satunya hal yang konsisten di tengah dunia yang menolak memberi makna. Di sebelahnya, Simone de Beauvoir menyisip anggur dengan kesadaran penuh bahwa patriarki tidak akan roboh hanya dengan filsafat—maka ia isi gelas, isi kepala, dan menulis ulang narasi tubuh perempuan dari meja kafe Paris.
Heidegger—di hutan Black Forest—menyesap bir sambil menatap kayu bakar dan bertanya: “Mengapa ada ‘ada’ dan bukan ‘tidak’?” Seandainya ada Instagram, ia mungkin akan bikin podcast spiritual tentang hidup otentik dan menjual merch Being & Beer.
Camus meminum anggur seperti seseorang yang tahu semua ini konyol, tapi terlalu sadar untuk pura-pura bahagia. Ia tidak butuh jawaban, cukup rasa pahit di lidah dan napas panjang sebelum menulis kalimat pembuka paling brutal: “Hari ini, Ibu meninggal. Atau mungkin kemarin.”
Lalu Foucault datang dengan kombinasi wine, pil, dan LSD. Ia tidak sekadar berpikir. Ia menginjak batas kesadaran, lalu menertawakan semua yang menyebut diri rasional. Baginya, arsip itu candu. Dan candu itu arsip. Dan kalau kau bertanya di mana tubuhmu berakhir dan kekuasaan mulai bekerja, ia akan menjawab: “Tanyakan pada botol ketiga.”
Slavoj Žižek—juru bicara zaman sinis—memilih Diet Coke. Katanya itu minuman ideologi murni: menjanjikan rasa tanpa kalori, kenikmatan tanpa dosa, seperti kapitalisme akhir yang menjual revolusi dalam bentuk hoodie. Ia menyeruput Diet Coke seperti pendeta menyeruput khotbahnya sendiri—meledak, belepotan, dan kadang tak bisa dimengerti, tapi selalu ada sesuatu yang terasa benar.
Dan terakhir, Byung-Chul Han. Teh hitam. Diam. Sunyi. Menolak kopi, karena katanya dunia sudah terlalu bising. Ia menyeduh kesedihan. Menulis tentang fatigue society sambil menonton dunia jatuh cinta pada produktivitas seperti kecanduan. Teh baginya bukan pelepas dahaga, melainkan ritual perlawanan terhadap kedangkalan yang viral.
Lalu, apa gunanya semua ini?
Gelas-gelas itu bukan sekadar gaya hidup. Mereka adalah miniatur cara berpikir. Kant yang sistematik, Nietzsche yang meledak, Diogenes yang nyinyir, Sartre yang malas hidup, Camus yang pasrah tapi elegan, Foucault yang mengguncang batas, Zizek yang absurd, dan Han yang murung. Cairan mereka adalah tubuh dari ide-ide yang mereka tulis.
Dan ya, filsuf juga manusia. Mereka merenung bukan di ruang hampa, tapi di atas meja yang lengket, di bar yang gelap, atau di kamar sepi yang hanya diisi ketikan dan ketakutan. Pikiran besar mereka lahir bukan dari kesempurnaan, tapi dari jeda-jeda yang diisi tegukan. Kadang getir. Kadang basi. Tapi selalu jujur.
Jadi, kalau suatu hari kamu duduk sendiri di warung kopi, menggenggam gelas plastik yang terlalu panas, dan tiba-tiba merasa dunia ini omong kosong—mungkin kamu sedang tidak salah tempat.
Mungkin kamu hanya butuh satu tegukan lagi, sebelum mulai menulis hal yang benar-benar penting.
Tinggalkan Balasan