
Bangun, Dunia Butuh Kopi
Dalam sejarah umat manusia, jarang ada benda yang begitu sederhana namun mampu mengubah nasib dunia seperti secangkir kopi. Ia bukan sekadar minuman; ia adalah ritual, senjata produktivitas, bahkan simbol perlawanan. Tapi sebelum ia menjadi bintang di meja kerja startup Jakarta atau teman begadang aktivis kiri di Yogyakarta, kopi hanyalah biji yang tak dikenal, tersembunyi di lembah-lembah Ethiopia.
Kambing yang Mabuk dan Seorang Gembala yang Resah
Legenda paling populer tentang asal-usul kopi berasal dari dataran tinggi Kaffa di Ethiopia, sekitar abad ke-9. Seorang penggembala kambing bernama Kaldi memperhatikan bahwa kambing-kambingnya menari-nari dengan energi aneh setelah memakan buah merah dari semak-semak tertentu. Alih-alih panik, Kaldi penasaran. Ia pun mencoba sendiri buah tersebut dan mendapati tubuhnya lebih segar, pikirannya lebih waspada. Jika legenda ini benar, maka sejarah minuman berkafein dimulai bukan di laboratorium atau istana, tapi dari sekelompok kambing high di perbukitan Afrika.
Namun, legenda bukan dokumen hukum. Catatan tertulis pertama tentang penggunaan kopi sebagai minuman baru muncul di Yaman sekitar abad ke-15, di kalangan sufi yang menggunakan kopi untuk tetap terjaga sepanjang malam saat berdzikir. Di sinilah kopi memperoleh dimensi spiritual sekaligus revolusioner—ia bukan hanya membuat tubuh tetap bangun, tapi juga menjaga kesadaran tetap menyala.
Kopi dan Dunia Islam: Mabuk Tanpa Alkohol
Dari Yaman, kopi menyebar cepat ke dunia Islam. Mekkah, Kairo, Baghdad, Damaskus, hingga Istanbul menjadi pusat peradaban kopi. Warung kopi atau qahveh khaneh muncul dan segera menjadi ruang diskusi politik, puisi, dan filsafat. Ini mencemaskan para penguasa.
Pada awal abad ke-16, beberapa pemerintah Islam bahkan sempat melarang kopi, menuduhnya sebagai biang keladi penghasutan. Di Kairo tahun 1511, gubernur Utsmani memerintahkan penutupan kafe karena takut minuman itu membuat rakyat terlalu sadar dan terlalu suka bertanya. Tapi seperti sejarah selalu mencatat: yang dilarang justru semakin digemari. Larangan itu gagal total. Kopi justru menjadi simbol “kebangkitan dari kantuk politik”—ia mengajarkan manusia untuk terjaga, bukan tunduk.
Eropa: Dari Bid’ah Timur ke Budaya Bangsawan
Kopi tiba di Eropa melalui pelabuhan-pelabuhan Venesia sekitar abad ke-17. Awalnya dicurigai sebagai minuman kafir. Namun ketika Paus Clement VIII meminumnya, ia justru menyukainya dan—menurut legenda lain—“membaptis” kopi agar dapat dinikmati umat Kristen. Sejak saat itu, kopi menjadi sah, bahkan sakral.
Eropa kemudian jatuh cinta. Kafe-kafe bermunculan di London, Paris, dan Wina. Sejarawan Steven Johnson menyebut bahwa banyak revolusi modern—dari Pencerahan hingga kapitalisme—lahir di kafe. Di sana, para filsuf berdiskusi, para jurnalis bergosip, dan para bankir merancang pasar. Dengan kata lain, kopi adalah bahan bakar Revolusi Industri, bukan batu bara.
Mabuk karena alkohol adalah kebiasaan lama; sadar karena kopi adalah modernitas.
Kolonialisme dan Budak: Hitam di Cangkir, Darah di Ladang
Kopi memang membangunkan pikiran, tapi sejarahnya tak sepenuhnya harum. Permintaan kopi yang terus meningkat di Eropa menyebabkan kekuatan kolonial seperti Belanda dan Prancis membawa biji kopi ke daerah jajahan.
Di Jawa, Belanda memperkenalkan sistem tanam paksa kopi pada abad ke-18. Rakyat dipaksa menanam kopi untuk diekspor ke Eropa. Satu cangkir kopi di Amsterdam mengandung derita petani Priangan. Di Haiti, tanaman kopi menjadi pusat ekonomi kolonial Prancis, ditopang oleh sistem perbudakan brutal. Maka kopi, selain membangunkan pikiran, juga menyimpan sejarah eksploitasi dan kekerasan.
Ironisnya, pemberontakan budak di Haiti (1791) yang dipimpin oleh Toussaint Louverture yang kemudian memerdekakan negara itu—berlangsung di tengah aroma ladang kopi. Bahkan dalam pemberontakan, kopi tetap hadir: sebagai sumber penderitaan sekaligus pengingat kebebasan.
Kopi Modern: Dari Starbucks hingga Barista Hipster
Hari ini, kopi telah berubah rupa. Ia tak lagi hanya diseduh, tapi dikurasi. Ia tak lagi disajikan oleh ibu-ibu di warung kecil atau diseruput di emper toko, tapi diproses oleh barista ber-tatto dengan grinder seharga motor bebek. Minuman rakyat kini menjadi simbol gaya hidup kelas menengah urban.
Kopi menjadi seperti kata Foucault: medium kontrol baru. Ia bukan hanya minuman, tapi juga kapital. Ia diukur bukan dari rasa atau asal, tapi dari “pengalaman” yang dijual bersamanya. Kopi, dalam dunia hari ini, adalah aesthetics of productivity—seolah-olah minum espresso berarti kita siap menjadi lebih efisien, lebih kreatif, lebih relevan.
Sementara itu, petani kopi di dataran tinggi Gayo, Toraja, dan Flores tetap berjuang melawan cuaca, tengkulak, dan harga yang fluktuatif. Maka kopi adalah paradoks abadi: pahit di lidah, manis di dompet—tapi tak bagi semua orang.
Kopi dan Kesadaran: Mabuk yang Membebaskan?
Jika Nietzsche mengatakan bahwa “kebenaran adalah sekumpulan ilusi yang telah dilupakan bahwa itu ilusi,” maka kopi adalah ilusi produktivitas yang telah lama kita anggap kebenaran. Tapi apakah salah?
Tidak. Justru dari semua bentuk candu, kopi adalah yang paling jujur. Ia tidak menjanjikan surga, tidak pula menawarkan pelarian. Ia hanya menawarkan satu hal: kesadaran. Bangunlah. Lihatlah dunia. Hadapilah pagi. Entah pagi revolusi atau pagi gaji buta.
Penutup: Secangkir Kecil yang Mengubah Segalanya
Sejarah kopi bukan hanya sejarah tumbuhan, tapi sejarah kesadaran. Ia lahir dari pengamatan kambing, dibesarkan oleh sufi, disebarkan oleh pedagang, dijarah oleh kolonialis, dan dipoles oleh kapitalis. Tapi di setiap era, kopi selalu menghadirkan satu hal yang sama: keberanian untuk terjaga.
Dan dalam dunia yang terlalu banyak tidur, mungkin itu satu-satunya bentuk perlawanan yang tersisa.
Jika kamu minum kopi hari ini, ingatlah: kamu sedang menyesap sejarah. Dan sejarah itu, seperti kopimu—hitam, pahit, dan penuh kemungkinan.
Tinggalkan Balasan