Miskin di Negeri Kaya

Miskin di Negeri Kaya

Di negeri ini, ada satu hal yang tak pernah krisis. Ia tidak fluktuatif seperti nilai tukar rupiah, tidak mudah digoyahkan seperti kabinet, dan tak pernah berakhir masa baktinya seperti presiden. Namanya: kemiskinan. Ia adalah satu-satunya entitas yang mampu bertahan melintasi rezim, ideologi, hingga siklus pemilu. Jika ekonomi adalah kapal, maka kemiskinan adalah jangkar: selalu ada di dasar, menjaga agar kapal tidak benar-benar berlayar.

Bayangkan ini: Indonesia, negeri yang konon “emerging market”, “rising tiger”, “giant of Southeast Asia”, ternyata tetap menyimpan 24 juta jiwa yang miskin secara resmi menurut Badan Pusat Statistik (BPS). Dan jika menggunakan standar Bank Dunia —yang entah kenapa selalu lebih tajam dari pisau dapur negara sendiri— maka 172 juta warga masih dikategorikan miskin. Itu 60% penduduk. Jika itu sebuah partai, sudah bisa mengusung capres sendiri.

Tapi jangan terlalu khawatir. Pemerintah sedang giat-giatnya mengentaskan kemiskinan lewat jalan-jalan tol, bandara internasional, dan subsidi influencer. Masalahnya, yang miskin tidak butuh jalan tol, karena mereka tak punya mobil. Mereka tidak butuh bandara, karena mudik saja harus ngemis diskon tiket. Dan tentu saja, mereka tidak follow influencer yang pakai skincare harga gaji satu bulan.

Mari kita selami absurdnya logika kemiskinan di republik ini.


Satu Ton Statistik, Nol Gram Empati

Setiap enam bulan, BPS akan mengeluarkan angka terbaru soal kemiskinan. Lalu media menulisnya dengan penuh semangat seperti merayakan kelulusan bersama: “Tingkat Kemiskinan Turun Menjadi 8,57%!” Berita ini dibacakan dengan suara optimis sambil background lagu orkestra dramatis. Tak ada yang bertanya: apakah orang miskin itu memang benar berkurang, atau hanya dikategorikan “tidak miskin” karena hari ini mereka bisa beli mi instan dua bungkus?

Garis kemiskinan nasional kita adalah sekitar Rp595.242 per bulan. Artinya, jika Anda hidup dengan Rp20.000 per hari, Anda bukan miskin. Anda “nyaris bahagia”. Logika ini seperti mengatakan seseorang sudah sehat karena suhu tubuhnya 36,9°C, padahal sudah sesak napas dan batuk darah.


Makan Gratis, Tapi Realitas Tetap Mahal

Program unggulan terbaru yang dijanjikan: makan gratis untuk anak sekolah dan ibu hamil. Sebuah rencana ambisius seharga Rp450 triliun. Ide bagus, tentu saja. Tapi kita tahu, di negeri ini, antara “niat mulia” dan “realita pelaksanaan” seringkali terpisah oleh lautan korupsi, kapal tender fiktif, dan pulau-pulau imajinatif bernama markup.

Coba bayangkan: seorang anak miskin mendapat nasi dan tempe gratis tiap pagi. Lalu sore harinya, dia pulang ke rumah yang nyaris roboh, tanpa listrik, dan ibunya tak bisa berobat karena kartu BPJS ditolak klinik. Tapi tidak apa-apa. Ia sudah makan. Hidup sudah cukup layak secara statistik.

Sementara itu, ada menteri yang meresmikan program tersebut dengan upacara mewah, lalu pulang dengan jet pribadi sambil memesan wagyu medium rare via ponsel. Semua berjalan sesuai rencana, kecuali rencana awalnya adalah menghapus kemiskinan.


Kemiskinan sebagai Branding

Lucunya, kemiskinan kini telah menjadi semacam peluang investasi. Banyak startup sosial yang menjual kemiskinan sebagai narasi, menjadikannya branding untuk menarik dana CSR, atau konten untuk program TV. Jika dulunya orang berlomba-lomba keluar dari kemiskinan, kini banyak yang justru menjualnya.

Kita menyaksikan iklan: “Bantu anak ini sekolah dengan donasi Rp10.000.” Tapi di akhir iklan muncul logo perusahaan besar. Kemiskinan jadi bahan bakar kapital. Miskin itu sedih? Tidak juga. Dalam iklan, ia dipoles, diberi soundtrack haru, lalu dibungkus sebagai konten emosional. Jadilah bisnis air mata.

Bahkan negara ikut serta. Ketika angka kemiskinan turun sedikit, semua pejabat berebut tampil di depan kamera. Seakan-akan, satu digit statistik bisa menutupi fakta bahwa rakyatnya masih harus antri air bersih setiap musim kemarau.


Tuhan, Negara, dan Nasib Buruk

Orang miskin sering diajari bahwa nasib mereka adalah ujian dari Tuhan. Bahwa hidup sederhana adalah berkah, dan menderita di dunia adalah tiket ke surga. Tapi tak ada ustaz atau pastor yang bilang hal itu ke konglomerat. Ujian tampaknya hanya ditujukan pada mereka yang tidak punya ATM.

Negara pun ikut memelihara logika ini. Setiap bansos dibagikan, wajah pemimpin dicetak besar di kantong beras. Bukan sebagai penanggung jawab, tapi sebagai “pemberi rahmat”. Seolah-olah rakyat itu umat dan negara adalah nabi baru.

Dan seperti biasa, birokrasi kemiskinan adalah bisnis yang gemuk. Dari data, pendataan, validasi, sampai distribusi, semua butuh anggaran, proyek, dan pejabat. Maka jangan heran jika kemiskinan tak pernah benar-benar hilang. Ia terlalu berguna sebagai alasan—untuk anggaran, untuk kekuasaan, bahkan untuk amal.


Hidup Miskin di Negeri Kaya

Ironisnya, Indonesia bukan negeri miskin. Kekayaan alamnya luar biasa, dari tambang nikel sampai sawit yang tak habis-habis. Tapi entah bagaimana, kekayaan itu selalu berakhir di meja makan yang sama: meja para pemilik modal, meja elite, meja pejabat yang piringnya selalu penuh tapi hatinya kosong.

Sementara itu, orang miskin hidup dalam jebakan tiga serangkai: pendidikan buruk, kesehatan terbatas, dan upah yang tak cukup untuk membeli mimpi. Mereka tidak malas, mereka bekerja dari pagi sampai malam. Tapi sistem memastikan mereka tetap di bawah—cukup hidup untuk bekerja, tapi tidak cukup berdaya untuk bersuara.


Kesimpulan: Negara, Si Tukang Sulap

Di panggung depan, negara berkata: “Kami telah menurunkan angka kemiskinan!” Tapi di balik tirai, yang terjadi hanyalah perubahan definisi. Mereka tidak menghapus miskin; mereka hanya menggeser batasnya.

Dan seperti pertunjukan sulap, kita semua diajak kagum pada statistik. Kita disuruh percaya bahwa jika angka membaik, maka kenyataan pun ikut membaik. Padahal di balik angka itu, ada jutaan perut kosong, anak putus sekolah, dan keluarga yang menggantungkan hidup pada undian nasib.

Jadi mari kita tepuk tangan. Bukan untuk keberhasilan menghapus kemiskinan, tapi untuk kemampuan luar biasa negara kita: membuat kemiskinan tampak seperti prestasi.


“Selamat datang di Indonesia, di mana satu-satunya yang miskin bukan rakyat, tapi imajinasi pemerintah tentang keadilan.”

Leave a Comment

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *