Bayangkan Anda sedang duduk di ruang laboratorium, dikelilingi tabung reaksi, data grafik, dan seorang ilmuwan yang sangat yakin bahwa apa yang dia kerjakan adalah kebenaran murni—tak tercela, tak tergugat. Lalu masuklah Bruno Latour, seorang filsuf Prancis, membawa satu kalimat yang membuat seluruh ruangan menjadi kikuk: “Sains bukanlah refleksi realitas. Ia adalah konstruksi.”
Pernyataan itu seperti mengatakan kepada seorang pendeta bahwa salib hanyalah kayu. Namun begitulah cara Latour mengguncang altar ilmiah: dengan senyum lebar dan buku catatan antropologis di tangannya.
Siapa Bruno Latour?
Lahir tahun 1947 di Prancis dan wafat tahun 2022, Latour adalah sosiolog sains yang lebih suka menyelinap ke laboratorium daripada duduk di bangku kuliah filsafat. Ia tidak hanya membaca eksperimen—ia mengamatinya seperti seorang antropolog mengamati upacara suku kuno. Dari pengamatannya, ia menyusun teori yang kemudian dikenal luas sebagai Actor-Network Theory (ANT)—sebuah pendekatan yang melibatkan manusia dan non-manusia dalam jejaring aksi yang membentuk dunia.
Menurut Latour, elektron dan ilmuwan, tikus lab dan spreadsheet Excel, semua punya “agen” dalam terbentuknya suatu fakta. Fakta ilmiah bukanlah hasil dari sekadar menemukan, tapi juga dari “membangun”. Di sinilah Latour melempar batu ke kaca rumah sains, lalu dengan sopan menawarkan teh sambil menjelaskan bagaimana retaknya bisa jadi karya seni.
Actor-Network Theory: Ketika Kursi, Tikus, dan Ilmuwan Sama Pentingnya
Dalam pendekatan ANT, dunia dijelaskan sebagai jaringan (network) dari aktor (actor), dan aktor itu bukan hanya manusia. Seekor tikus laboratorium yang kebal terhadap antibiotik bisa menjadi “aktor” penting dalam merumuskan protokol medis dunia. Begitu juga dengan printer yang mogok sebelum deadline laporan riset.
Latour menolak dikotomi antara “masyarakat” dan “alam”, antara “budaya” dan “alamiah”. Dalam bukunya yang terkenal We Have Never Been Modern (1991), ia menyatakan bahwa manusia modern sebenarnya hanya berpura-pura memisahkan keduanya, padahal dalam praktik, keduanya selalu berkelindan. Pandemi COVID-19 misalnya, bukan hanya soal virus biologis, tapi juga soal logistik, kepercayaan publik, kebijakan pemerintah, dan bahkan algoritma media sosial.
Sebuah “fakta ilmiah” lahir bukan dari satu otak jenius di ruang steril, tapi dari serangkaian tarik-ulur: antara hasil eksperimen, komite etika, dana hibah, konferensi internasional, dan jurnal peer-review. Ilmu pengetahuan, kata Latour, adalah diplomasi yang sangat kompleks antar berbagai aktor—dan ia tidak selalu suci.
Kritik dan Kontroversi: Apakah Latour Membela Relativisme?
Tentu banyak ilmuwan yang gerah. Latour dituduh sebagai relativis: seolah mengatakan bahwa fakta bisa dinegosiasi seperti harga tempe di pasar. Tapi Latour tidak mengatakan bahwa “semua kebenaran itu relatif”. Ia mengatakan bahwa kebenaran dibentuk dalam proses yang kompleks, dan kita harus jujur pada proses itu.
Di tahun-tahun terakhir hidupnya, Latour justru sangat vokal terhadap ancaman “post-truth” dan “anti-sains”. Ia gelisah melihat bagaimana teori-teorinya disalahpahami oleh para politisi atau influencer anti-vaksin. Dalam esai-esainya, ia menyatakan bahwa membongkar struktur pembuatan kebenaran bukan berarti menyangkal kebenaran, justru agar kita bisa membangun sistem yang lebih transparan dan bertanggung jawab.
Latour dan Krisis Ekologi
Menjelang akhir hidupnya, Latour bergeser dari laboratorium ke planet. Ia mulai banyak menulis tentang antropocene, perubahan iklim, dan bagaimana sistem modern yang kita bangun telah menciptakan dunia yang tidak bisa lagi kita kendalikan.
Dalam bukunya Down to Earth: Politics in the New Climatic Regime (2017), ia menyindir bahwa dunia telah kehilangan “tanah pijakan bersama”, karena kita hidup dalam gelembung epistemik masing-masing. Ada yang percaya bumi itu datar, ada yang percaya pada QAnon, dan ada yang percaya pada grafik IPCC. Semua hidup di langit masing-masing, dan Latour ingin membawa kita “turun ke bumi” lagi—secara harfiah dan politis.
Ia mengusulkan cara berpikir baru, bahwa manusia harus mengakui dirinya bukan pusat semesta. Dalam gaya yang mengingatkan pada Carl Sagan, Latour menulis bahwa bumi bukan hanya latar panggung, tapi aktor aktif dalam drama kehidupan. Kita bukan penguasa planet, tapi bagian dari jaringan aktor yang jauh lebih luas.
Mengapa Latour Relevan?
Hari ini, ketika algoritma bisa membentuk opini publik lebih cepat dari koran, dan ketika vaksin ditolak lebih karena emosi ketimbang data, pemikiran Latour menjadi penting. Ia mengajarkan kita untuk tidak terlalu cepat percaya, tapi juga tidak terlalu cepat mencibir. Ia mengajak kita memahami bahwa kebenaran bukanlah batu—ia adalah jalan setapak yang dibentuk dari banyak kaki, banyak percakapan, dan banyak tarik-menarik kekuasaan.
Jika Harari menulis tentang masa lalu dan masa depan dengan kejernihan naratif, dan Carl Sagan menatap langit dengan rasa kagum kosmik, maka Latour adalah pemandu jalan di antara kabel, laboratorium, dan kantor pemerintahan, membisikkan: “Lihatlah lebih dekat. Fakta bukan benda mati. Ia bernapas melalui kita.”
Penutup:
Bruno Latour bukan filsuf biasa. Ia tidak membangun sistem seperti Kant, tidak mengutuk modernitas seperti Nietzsche, dan tidak bercanda segelap Cioran. Tapi ia membuat kita curiga—bukan terhadap dunia luar, melainkan terhadap cara kita memahami dunia. Dan di zaman yang penuh klaim “kebenaran”, kecurigaan seperti itu bisa jadi satu-satunya bentuk kejujuran yang tersisa.