Di sebuah negara yang katanya demokratis, yang rakyatnya masih memelihara ketakutan akan lampu rotator biru, dan yang hukum tertulis lebih sering jadi dekorasi lemari daripada acuan tindakan, lahirlah sebuah keanehan struktural yang nyaris tak masuk akal logika: institusi kepolisian dengan jumlah perwira tinggi yang melebihi kebutuhan akal sehat.
Jumlah Kombes (Komisaris Besar) dan Jenderal di tubuh Polri telah melampaui batas wajar. Ini bukan lagi piramida terbalik. Ini sudah seperti balon udara raksasa yang menggembung di langit birokrasi, mengapung tinggi dengan gaya elitis dan gaya hidup para bintang di pundak. Mereka terlalu tinggi untuk menyentuh tanah, apalagi menyentuh kenyataan.
Pangkat Berlipat, Masalah Bertambah
Setiap tahun, ratusan polisi naik pangkat. Tapi jangan buru-buru mengira itu karena keberhasilan dalam membongkar sindikat narkoba lintas negara atau menangani kasus korupsi yang membelit pejabat negeri.
Tidak, seringkali mereka naik pangkat karena alasan yang lebih sederhana: mereka cukup tua, cukup setia, dan cukup pandai menyenangkan atasan.
Di negara lain, seorang jenderal adalah sosok langka — seperti legenda. Di Indonesia, jenderal itu seperti spanduk caleg: ada di mana-mana. Bahkan dalam suatu titik, jumlah jenderal bisa melampaui jumlah unit atau jabatan strategis yang tersedia. Akibatnya, muncullah fenomena unik: jabatan dibuat hanya untuk menampung pangkat. Posisi dikarang, struktur diakali, dan staf ahli pun bermunculan bak jamur di musim anggaran.
Polisi Tanpa Musuh
Apa jadinya tentara tanpa perang? Sama seperti itu pula polisi tanpa kejahatan. Tapi tunggu dulu, bukankah kriminalitas tetap tinggi? Bukankah masyarakat masih was-was keluar malam? Bukankah kasus pencurian, penipuan, dan kekerasan seksual mengisi linimasa media sosial setiap hari?
Betul. Tapi jenderal-jenderal kita terlalu sibuk dengan hal yang lebih penting: rapat, peluncuran program ketahanan pangan, kunjungan kerja, dan syuting video pendek untuk Instagram.
Mereka tak bisa repot-repot turun ke lapangan, karena posisi mereka kini lebih mirip CEO perusahaan multinasional. Mereka perlu dijemput, disiapkan kopi, diberikan naskah pidato, dan tentu saja: difoto. Dalam dunia di mana “like” lebih penting dari laporan kriminal, maka jenderal pun menjadi selebritas dadakan.
Elitisme yang Diinstitusikan
Dengan pangkat yang tinggi, datanglah gaya hidup yang tinggi pula.
Rapat-rapat penting dilakukan di hotel bintang lima. Rumah dinas jadi simbol status. Mobil pengawal menjadi penghalau macet. Keamanan pribadi jauh lebih dijaga daripada keamanan publik.
Ketika rakyat biasa antre di SPKT untuk melaporkan kehilangan motor, jenderal kita sedang diundang makan siang oleh rekanan proyek “kerjasama strategis”. Dan ketika warga mengeluh laporan tak diproses, birokrasi berkata:
“Kami sedang evaluasi sistem. Mohon bersabar.”
Sabar, tentu. Tapi sampai kapan?
Struktur Gendut, Hukum Lemah
Masalah paling serius dari overload perwira tinggi bukan sekadar pemborosan anggaran — meskipun itu cukup fatal.
Masalah utamanya adalah: struktur ini membuat hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah.
Mengapa? Karena terlalu banyak kepentingan harus dinegosiasikan, terlalu banyak hierarki yang harus disenangkan, dan terlalu banyak loyalitas internal yang harus dijaga agar karier tidak mandek.
Seorang polisi yang jujur mungkin harus memilih antara integritas dan masa depan.
Dan seringkali, integritas dikorbankan — demi pangkat, demi jabatan, demi reputasi di mata atasan.
Sementara itu, polisi lapangan yang berhadapan langsung dengan rakyat tidak diberi cukup dukungan. Ketika menghadapi sindikat kuat, mereka sendirian. Tapi ketika harus mengatur lalu lintas artis yang hendak kawin, mereka diperintah satu peleton.
Reformasi yang Tak Kunjung Tuntas
Sudah sejak Reformasi 1998, wacana perbaikan institusi kepolisian menggema. Tapi entah mengapa, yang berubah hanyalah slogan, bukan sistem.
Dulu “pengayom dan pelindung,” lalu menjadi “penegak hukum,” lalu berganti lagi menjadi “Presisi.” Tapi dalam praktiknya, banyak polisi masih sibuk melindungi kepentingan kuasa, bukan keadilan.
Polisi yang terlalu banyak jenderal ini seperti orkestra yang semua musisinya ingin jadi konduktor. Tidak ada yang mau bermain drum, apalagi mengangkat amplifier. Mereka ingin memimpin, mengatur, dan tampil. Tapi tak ada yang mau membersihkan kekacauan.
Padahal, seperti kata seorang filsuf jalanan:
“Negara bukan hanya butuh hukum yang adil. Ia butuh polisi yang mau berdiri di titik paling becek untuk menjaganya.”
Menuju Polisi yang Membumi
Sudah saatnya kita berhenti memberi panggung pada bintang-bintang kosong.
Institusi kepolisian harus dibongkar ulang — bukan hanya reformasi struktural, tapi dekontruksi cara berpikir.
-
Kurangi perwira tinggi.
-
Tinjau ulang sistem promosi.
-
Bubarkan jabatan-jabatan fiktif.
-
Fokuskan anggaran ke lapangan, bukan ke ruang pendingin rapat.
-
Jadikan penegakan hukum sebagai jalan sunyi, bukan panggung karier.
Dan yang terpenting:
Lepaskan polisi dari obsesi berkuasa. Biarkan mereka kembali ke jalan, bukan ke podium.
Karena kalau tidak, rakyat akan terus bertanya:
“Berapa banyak jenderal yang harus kita bayar, untuk sebuah laporan kehilangan yang bahkan tak pernah diangkat?”