Manusia Bernama Iwan Fals

“Manusia bukanlah sesuatu yang sudah selesai. Ia adalah proyek yang terus-menerus ditinggikan oleh keberaniannya sendiri.”
Jean-Paul Sartre

Di tahun 2025, Iwan Fals bukan lagi sekadar legenda musik Indonesia. Ia adalah cermin jiwa yang terus berproses, berpindah dari gemuruh panggung ke sunyi pencarian makna. Dulu, ia adalah suara rakyat yang mengguncang penguasa. Kini, ia adalah sosok yang belajar melawan dirinya sendiri—pertarungan yang jauh lebih berat, namun penuh kepekaan.

Di masa muda, Iwan Fals adalah kobaran api. Lagu-lagunya seperti Bento, Siang Seberang Istana, dan Bongkar adalah peluru kritik yang menyasar kemunafikan, korupsi, dan ketidakadilan. Ia tak sekadar menyanyi—ia menuliskan sejarah yang tak tercatat di buku pelajaran. Seperti yang pernah Nietzsche katakan, seni lahir dari luka terdalam manusia, dan Iwan adalah buktinya.

Namun, hidup punya cara sendiri untuk mengajarkan kerendahan hati. Ketika putranya, Galang Rambu Anarki, meninggal dunia, dunia Iwan seakan runtuh. Amarahnya mereda, teriakan berubah menjadi bisikan. Ia tak lagi ingin menghardik dunia, melainkan berdialog dengan hati nuraninya sendiri.

“Setiap orang harus menanggung beban keberadaannya sendiri.”
Albert Camus

Album-albumnya pasca-tragedi itu berubah. Tak lagi menggelegar seperti petir, melainkan lembut seperti hujan di tanah kering. Lagu-lagunya menjadi doa, renungan, dan pelukan bagi mereka yang pernah patah hati. Iwan tak lagi ingin mengguncang jalanan—ia hanya ingin bertahan dalam sepi.

Di usia yang tak lagi muda, Iwan Fals tetap produktif. Pada 2024, ia merilis album Tujuh Belas, sebuah karya megah berisi 17 lagu yang merangkum perjalanan panjangnya. Di panggung IIMS 2025, ia masih memukau dengan lagu-lagu legendaris seperti Bento dan Siang Seberang Istana, namun dengan sentuhan baru: lebih bijak, lebih dalam, lebih manusiawi.

Organisasi bentukannya, Oi, kini telah memiliki lebih dari 250 cabang di seluruh Indonesia, menjadi jaringan komunitas sosial yang tak sekadar bertahan, tapi berkembang. Namun, Iwan memilih mundur dari sorotan. Ia tak lagi ingin menjadi idola yang dipuja secara membabi buta. Dalam sebuah wawancara, ia berkata dengan sederhana namun penuh makna:

“Dulu saya ingin mengubah dunia. Sekarang, saya hanya ingin setia pada hati kecil saya.”

Kata-kata itu adalah cerminan kedewasaan. Iwan tak lagi mengejar revolusi besar. Baginya, keberanian sejati adalah tetap jujur pada diri sendiri di tengah dunia yang penuh godaan.

Seperti yang pernah ditulis Viktor Frankl, manusia sejatinya tidak mencari kebahagiaan, melainkan makna. Iwan Fals di 2025 adalah perwujudan dari perjalanan itu. Ia meninggalkan gemerlap popularitas demi menyelami makna yang lebih sunyi, lebih personal.

Tak semua penggemar memahami pilihannya. Banyak yang merindukan Iwan yang dulu: lantang, revolusioner, dan penuh gairah. Namun, Iwan memilih jalan yang lebih sulit—jalan untuk menjadi manusia biasa. Ia membiarkan dirinya rapuh, tua, dan penuh luka.

“Bagi jiwa yang benar-benar bebas, tiada yang lebih menakutkan daripada kehilangan dirinya sendiri.”
Søren Kierkegaard

Bagi Iwan, kegagalan, kehilangan, dan kesunyian bukanlah musuh. Mereka adalah sahabat yang mengajarkannya tentang harga menjadi manusia sejati.

Kini, Iwan lebih sering melukis, membaca, dan merenung dalam keheningan. Ia tetap aktif dalam kegiatan sosial, mengingatkan dunia tentang ketidakadilan, namun dengan cara yang lebih sederhana, tanpa gegap gempita. Ia tak lagi mengejar kehebatan seperti dulu—ia hanya ingin menjalani sisa hidupnya dengan jujur.

Sebagian orang mungkin bertanya, “Mengapa Iwan tak lagi sehebat dulu?” Jawabannya ada dalam pemikiran Heidegger: eksistensi manusia selalu menuju kefanaan. Kemuliaan hidup bukan pada keabadian, melainkan pada keberanian menghadapi kematian dengan hati terbuka.

Seperti kata Rainer Maria Rilke:

“Menjadi tua berarti menjadi yang ditinggalkan. Dan dalam sunyi itu, akhirnya kita menemukan diri kita sendiri.”

Iwan Fals hari ini bukan dewa, bukan pahlawan. Ia adalah manusia biasa yang menua dengan penuh makna. Dengan luka yang tak pernah sembuh, rasa bersalah yang tak pernah hilang, dan kenangan yang tak bisa diperbaiki, ia justru menemukan kehidupan yang lebih nyata.

Iwan Fals adalah bukti bahwa keberanian sejati bukan hanya tentang melawan dunia, tetapi tentang berani menjadi diri sendiri—bahkan ketika dunia tak lagi memahami.

Leave a Comment

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *